Selasa, 12 Mei 2009

KISAH SUKU DIWAMENA

KISAH TERSISA DILEMBAH BALIEM

banyak yang tak yakin bahwa dizaman yang serbacomputerized seperti sekarang.
masih ada sekelompok orang diwmena,yang hidup dengan budaya zaman batu.
seperti tinggal dirumah kayu beratap ijuk,berlantai jerami,tanpa listik,tanpa kompor,memotong dengan kapak batu,dan tak berbaju.
kaum wanitanya merangkai akar dan sulur pohon sebagai rok,
sedang kaum priyanya menggunakan buah labu yang dikeringkan untuk koteka,
dan inilah sisa hidup yangprimitif dilembah baliem

BEDA SUKU BEDA KOTEKA




BEDA SUKU BEDA KOTEKA
dari cara mengenakanya
ternyata koteka bisi menjadi
identitas suku
sebab:suku dani memasang koteka
tegak menghadap keatas
sedang suku lani yang juga tinggal dilembah baliem
mengenakanya lurus kedepan

babi lebih mahal




BABI LEBIH MAHAL
masyarakat wamena yang tertingggal
tampaknya babi lebih mahal dari pada wanita
karena menabrak babi dendanya lebih mahal
dari pada bermain sek dengan wanita
disana hanya dengan sepiring nasi(yang termasuk barang mewah)
seorang peria dapat mendapatkan sek

MUMI TERBAIK
ini adalah mumi salah seorang kepala suku dani
yang meninggal 350 tahun lalu
mumi ini diawetkan secr tradisionL
ini mumi tertua dan terbaik dipapua
mumi ini terkenal karena sering diajak berpose oleh keturunannya
saking terkenalnya
kampung dimana dia berada dinamakan dusun mumi


KAMPANYE?
berkoteka ditenah kota diwamena
bukan suatu yang tabu atau memalukan
juga bukan berarti tidak menganal politik
buktinya meski pakai koteka,
lelaki setengah baya ini juga mengenal politik praktis
perhatikan ikat kepala yang menggambarkan salah satu partai
jangan jangan beginilah cara orang- orang suku dani ikut kampanye.
siapa tahu?

RAMBUT BERMINYAK BABI
Lelaki tua ini bukan satu satunya warga
suku dani yang bisa ditemui di kota
dengan tongkat dan batu ditangan
dia berjalan pulaang kekampungnya
didusun mumi,distrik kuruku,wamena.
perhatikan rambutnya yang di set minyak babi
agar selalu rapi

gambar unik dari irian



BERPOSE DEMI RP 5.000 mwmotret diwamwna bsrarti membayar, berapa, bergantung pada negosiasi.tapi umumnya 5.000-20,000 sekali jepret perorang. wanita dari tiga generasi berpose bareng bak potret keluarga demi 5.000

Tokoh Pendidikan Pater J Drost Meninggal Dunia Y04/Y01/Y03/MAS

Tokoh Pendidikan Pater J Drost Meninggal Dunia
Y04/Y01/Y03/MAS

Indonesia kembali kehilangan tokoh pendidikan yang lantang melakukan autokritik. Pater J Drost SJ, lengkapnya Drs Josephus Ignatius Gerardus Maria Drost SJ, Sabtu (19/2) sekitar pukul 16.15, meninggal dunia di Rumah Sakit Elisabeth Semarang, Jawa Tengah, dalam usia 80 tahun setelah mengalami gangguan prostat.
Meninggalnya Pater Drost merupakan kehilangan yang amat sangat bagi dunia pendidikan di Indonesia. Dialah sosok pendidik yang sejak muda hingga menjelang akhir hayatnya selalu peduli terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
"Pater meninggal karena sakit prostat, sebelumnya pernah menderita sakit jantung," kata Kepala SMA Kanisius Jakarta Romo Baskoro Poedjinoegroho SJ. Romo Baskoro belum tahu apakah Pater Drost meninggal akibat kanker prostat atau yang lainnya, yang ia ketahui Pater Drost menjalani operasi prostat.
Menurut Romo Baskoro, Pater Drost merupakan seorang pendidik yang ulung. Semasa hidupnya, Pater Drost banyak memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia pendidikan. Ia juga sungguh-sungguh bisa mengikuti perkembangan pemikiran dari para pemikir muda.
Romo Baskoro mencontohkan, ketika dia tampil menjadi pembicara bersama dalam sebuah seminar di luar Pulau Jawa beberapa tahun lalu, misalnya, Romo Baskoro sebelumnya khawatir kalau akan ada pertentangan pemikiran dua pastor dalam sebuah seminar tersebut. Ternyata, apa yang dikhawatirkan itu tidak terbukti.
Pater Drost ternyata memiliki sudut pandang lain dalam mengungkapkan gagasannya itu sehingga sama sekali tidak ada pertentangan. Ia bisa menampilkan pandangan lain dari sudut pandang yang lain pula yang tidak menimbulkan benturan pandangan dengan pendapat orang muda.
Sempat bercanda
Socius Provinsial Jesuit Indonesia Azis Mardopo SJ di Kamar Jenazah RS Elisabeth, mengatakan, sekitar pukul 14.00 siang Pater J Drost diantar sopir untuk check up di RS Elisabeth. Di jalan, Pater tidak menunjukkan tanda sakit, malah mengajak sopir bercanda.
Menurut Sr Monika, perawat di Wisma Emaus Pasturan Girisonta, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah -tempat Pater Drost tinggal selama ini-setelah check up Pater Drost dinyatakan sehat. Namun, ia minta dirawat di RS. Pater Drost kemudian masuk ruang Joseph dan mendapat perawatan dari dokter RS. Tak lama kemudian Pater Drost meninggal dunia.
Jenazahnya akan dimakamkan pada hari Senin (21/2) di Makam Jesuit Girisonta pukul 11.00, setelah Misa Requim di Kapel Girisonta pukul 10.00.
Sementara itu Provinsial Jesuit Indonesia Priyono Marwan SJ, mengatakan, Pater Drost adalah pribadi yang sangat mencintai pelayanannya. Pater dengan senang hati menerima tugas sebagai kepala sekolah setelah sebelumnya menjadi Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)-kini menjadi universitas-Sanata Dharma, Yogyakarta. "Ini sulit dilakukan oleh kebanyakan orang Indonesia, yang dengan senang hati turun jabatan," katanya.
Romo Ignatius Aria Dewanto, Novis Yesuit Girisonta yang ditemui di ruang jenazah, mengatakan, selama di Wisma Emaus Girisonta Pater Drost menerjemahkan buku asing. Buku itu diterbitkan untuk kalangan Serikat Jesus.
Pater Drost lahir di Jakarta pada 1 Agustus 1925. Ia pernah mendalami filsafat di Yogyakarta pada tahun 1952, dan pada tahun 1957 lulus sebagai sarjana fisika di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pendidikannya dilanjutkan di Teologia Yogyakarta, lulus tahun 1961. Ia pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 1962-1964. Ia menjabat Rektor IKIP Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 1964-1967.
Pada tahun 1976-1987, Pater Drost menjabat Kepala SMA Kanisius Jakarta. Kemudian pada tahun 1987-1991, ia menjabat Kepala SMA Gonzaga Jakarta dan sekaligus Rektor Kolese Gonzaga pada tahun 1987.
Sumber : Kompas (20 Februari 2005)
Prof Dr A Sartono Kartodirdjo
Mahaguru Sejarah Indonesia

Prof Dr A Sartono Kartodirdjo,

Guru Besar Ilmu Sejarah Un
iversitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, meninggal dunia di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Jumat 7 Desember 2007 pukul 00.45 WIB. Penulis buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru, kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 15 Februari 1921, itu memperkenalkan pendekatan multidimensi dalam penulisan sejarah.
Dia pionir generasi baru sejarawan Indonesia yang menerapkan metode penelitian modern dalam lingkup studi sejarah. Sejak setahun terakhir sudah telah dua kali dirawat di rumah sakit. Menurut putranya, Nimpuno, Sartono masuk RS Panti Rapih, Kamis (6/12/2007) malam, karena kondisi kesehatannya memburuk. Sebelumnya dia dirawat di rumah. Dia memang sudah lama sakit dan sudah sulit makan sendiri. Jenazah disemayamkan di rumah duka kompleks rumah dinas dosen UGM Bulak Sumur, Yogyakarta. Upacara penghormatan terakhir dilakukan di Balairung UGM. Dimakamkan di makam keluarga Astana Kadarismanan, Lemah Abang, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (8/11/2007) siang. Alamarhum Sartono meninggalkan seorang isteri, Sri Kadarjati, sama-sama berprofesi guru, yang dinikahinya pada 1948, dan dikaruniai dua anak. Sartono dilahirkan sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara kandung buah hati pasangan Tjitrosarojo (ayah) dan Sutiya (ibu) pada tengah malam di Wonogiri, 15 Februari 1921. Dia dibesarkan dalam ruang sosial budaya abangan, sebagai lingkungan paling awal pembentukan jati dirinya. Kemudian melalui dunia pendidikan formalnya di HIS, MULO, dan HIK, dia menyerap nilai budaya Barat. Terutama di HIK Muntilan, selain menyerap budaya Barat, Sartono juga menyerap nilai-nilai dan ajaran Kristiani secara lebih intensif. Sebab di HIK, dia mendapat pendidikan khusus sebagai (calon) bruder. Kendati dia tidak jadi bruder, karena akhirnya memilih karier sebagai guru, nilai-nilai yang diajarkan selama di HIK tetap menjadi pemandu dalam perjalanan hidupnya.
Sebelum menjadi dosen di UGM, Sartono mengajar di SMA di Jakarta, sambil kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), dan menyelesaikannya tahun 1956. Kemudian tahun 1959, Sartono menjadi dosen di UGM, dan di FKIP Bandung. Kemudian dia meraih gelar master dari Universitas Yale, AS (1964). Gelar doktor diraih dari Universitas Amsterdam, Belanda (1966) dengan disertasi: "The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia" (Pemberontakan Petani Banten 1888). Disertasi ini dinilai sebagai batu loncatan dalam studi sejarah Indonesia. Sebuah karya sarjana sejarah Indonesia pertama yang mengangkat peran wong cilik ke atas panggung sejarah, yang sebelumnya selalu diisi kaum elite, konvensional dan Neerlandosentris.

Penulisan disertasi ini, diakuinya didorong oleh hasrat melancarkan protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Neerlandosentris. Menurut M Nursam Alumnus Ilmu Sejarah UGM, yang tengah menulis Buku Biografi Sartono Kartodirdjo (masih dalam Proses Penerbitan), Sartono dengan menggunakan social scientific approach, memberikan cahaya terang dalam perkembangan dan arah historiografi Indonesiasentris. "Petani atau orang-orang kecil yang dalam sejarah konvensional menjadi nonfaktor, dalam karya Sartono menjadi aktor sejarah," tutur M Nursam.

Kemudian dia dikenal sebagai seorang sejarawan yang berperan bagi pengembangan ilmu sejarah di Indonesia dengan memperkenalkan pendekatan multidimensi dalam penulisan sejarah.

Tahun 1968, dia dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Sastra UGM.Dia seorang mahaguru sejarah Indonesia yang telah menghasilkan banyak ahli sejarah yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara. Murid-muridnya itu pula yang menjadi benang penyambung ide dan gagasan Sartono. Menurutnya, sejarawan harus tetap berpegang pada etos yang disebut mesu budi. Istilah itu dia sadur dari Serat Wedatama, yang bermakna mengandalkan kekuatan batin dan tidak bertumpu pada kemegahan dunia.

Puluhan buku dan ratusan artikel telah lahir dari tangannya. Pada tahun 2001, pada usia ke-80, Sartono masih menerbitkan buku berjudul Indonesian Historiography. Baginya, usia bukan alasan untuk berhenti berkarya. Menurutnya, kerja seorang ilmuwan adalah kerja tanda henti.

Dalam berbagai kesempatan, Sartono sering kali mengingatkan bahwa ilmuwan "jangan seperti pohon pisang, yang hanya berbuah sekali kemudian mati." Dia juga sering mengingatkan bahwa sikap asketis menjadi esensi dari keahlian seorang profesional. Menurutnya, apa yang dihasilkan adalah buah dari asketisme yang dihayatinya secara terus-menerus melalui ketekunan, ketelitian, ketuntasan serta kesempurnaan teknis.

Prof Dr Sartono Kartodirdjo ikut berperan dalam penulisan buku sejarah pada 1987 dan 1990 itu. Tapi dalam nama tim penulis nama Sartono hanya muncul hingga jilid II. Pada jilid III sampai VI namanya tiba-tiba hilang.

Lalu Sartono melepas kekecaawannya dengan menulis sendiri buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru (Jilid I berisi Zaman Kerajaan, dan Jilid II berisi Pergerakan Sejarah Nasional).

Sebelumnya Sartono sudah menulis The Peasants Revolt of Banten in 1888 (1966); Protest Movements in Rural Java, diterbitkan Oxford University Press (1973); Ratu Adil (1984); dan Modern Indonesia, Tradition and Transformation (1984).

Kepakarannya di bidang sejarah tidak hanya diakui di dalam negeri tetapi juga di mancanegara. Dia pernah berperan sebagai Koordinator Nasional UNESCO, dan ahli peneliti pada Institute of South East Asian Studies, Singapura. Berbagai penghargaan dari lembaga internasional dan universitas mancanegara telah dianugerahkan padanya.

Sebagaimana dikutip M Nursam, salah seorang kolega Sartono, Joseph Fischer, dari University of California, mengatakan, "Bagi saya, Pak Sartono merupakan kombinasi dari tokoh Arjuna, Gatotkaca, dan Semar. Arjuna karena kehalusan sikapnya. Gatotkaca karena kejujurannya, dan Semar karena kearifannya. Pak Sartono benar-benar seorang cendekiawan profesional dan seorang guru yang baik." ►ti-hotsan, dari berbagai sumber

Dana BOS dan Tunjangan Guru Terancam Dipotong Senin, 7 April 2008 | 01:21 WIB Bandung, Kompas - Anggaran pendidikan di dalam struktur Anggaran Pendap

Dana BOS dan Tunjangan Guru Terancam
Dipotong

Senin, 7 April 2008 | 01:21 WIB
Bandung, Kompas - Anggaran pendidikan di dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
2008 dipastikan akan dipotong sebesar 10 persen, dari usulan semula Rp 49,7 triliun menjadi Rp 44,73
triliun. Pemotongan ini berkonsekuensi dipangkasnya pos-pos anggaran program strategis, salah satunya
bisa saja dana bantuan operasional sekolah atau BOS.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam Acara Dialog dan Silaturahmi Insan Pendidikan di
Balai Pelatihan Guru, Bandung, Sabtu (5/4), mengatakan, pemangkasan anggaran dari program BOS
dan tunjangan khusus guru merupakan cara termudah untuk menyesuaikan instruksi pemotongan itu.
”Jumlah potongannya Rp 4,9 triliun. Sekarang saya juga lagi pusing. Kalau mau gampang, ya dipotong
dari dana BOS. Porsi anggaran terbesar Depdiknas adalah untuk program BOS, yaitu Rp 11 triliun.
Sementara itu, tunjangan guru Rp 4 triliun,” tuturnya.
Namun, saat dimintai penegasan, Bambang mengatakan, pihaknya mengupayakan dana BOS dan
tunjangan guru tidak masuk dalam target pemotongan itu. ”Anggaran yang digunakan untuk kepentingan
masyarakat banyak saya usahakan tidak kena,” tuturnya di sela-sela acara. Sebagai gantinya,
pemangkasan akan dilakukan pada sektor-sektor yang tidak terlalu vital, seperti pendidikan dan pelatihan
SDM, serta seminar atau diskusi.
Namun, ia tidak menjawab apakah pemotongan sektor-sektor ini cukup menutup target penghematan
sebesar Rp 4,9 triliun. ”Rinciannya masih dibahas dengan Komisi X. Nanti sajalah kepastiannya,”
ucapnya kemudian. Dengan pemotongan sebesar 10 persen ini, besaran anggaran pendidikan di tahun
2008 tidaklah jauh berbeda dari tahun lalu, yaitu Rp 44,1 triliun.
Pemotongan ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang menginginkan penghematan
anggaran di seluruh departemen dan lembaga negara menyusul perubahan asumsi harga minyak
mentah dunia. Namun, tidak seperti tertulis di dalam Surat Menteri Keuangan No. S-1/Mk.02/2008 pada
Januari 2008 yang menginstruksikan penghematan sebesar 15 persen, perkembangan terbaru,
pemotongan itu sebesar 10 persen flat.
”Semua departemen dipotong 10 persen. Sebelumnya, saya telah mengupayakan agar pemotongan
(anggaran pendidikan) hanya 4 persen. Perjuangan di tingkat kabinet telah berhasil dan diputuskan.
Tetapi, ketika diusulkan ke DPR, itu tidak disetujui panitia anggaran,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi X DPR Ade Firdaus mengatakan sebaliknya,
pemotongan anggaran pendidikan itu bukan semata-mata keinginan DPR. (JON)




Menindaklanjuti surat Menteri Keuangan Nomor S-01/MK.02/2008 tanggal 2 Januari 2008 perihal Langkah-Langkah Dasar Penghematan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tahun 2008 maka Menkeu dengan suratnya No. S-42/MK.02/2008 tanggal 31 Januari 2008 menginformasikan bahwa pagu dana pinjaman luar negeri yang semula tidak dapat dilakukan penghematan (15 %) maka dengan adanya surat ini bahwa penghematan tersebut dapat dibebankan pada pinjaman luar negeri dengan batasan maksimum 30 % dari pagu pinjaman luar negeri tersebut.


Prakarsa Rakyat,

Oleh Moh Yamin

Surat edaran dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indarwati untuk menghemat 15 persen di berbagai departemen, termasuk anggaran pendidikan, yang tertuang dalam SE No. S-1/MK.02/2008 cukup menghentakkan publik pendidikan. Dunia pendidikan kita akan disakiti lagi oleh pemerintah. Sehingga anggaran pendidikan yang kini berjumlah Rp 49,7 triliun di APBN 2008 ini terancam terpotong 15 persen (Jawa Pos, 21 Februari 2008). Ini sebuah pukulan pelak bagi nasib pendidikan ke depan. Anggaran pendidikan pun menyusut dan kurus kerempeng. Sehingga ini akan menyulitkan pendidikan mengalami kemajuan. Kemandekan pembangunan bangunan sekolah, infrastruktur pendidikan, dan lain seterusnya akan terjadi. Sekolah rusak akan semakin merajalela di bumi Nusantara Indonesia. Anak miskin putus sekolah pun tidak akan bisa melanjutkan pendidikan karena sudah tidak mendapatkan biaya gratis pendidikan dari pemerintah. Impian agar anak-anak terlantar yang setiap hari bergelimang dengan dunia jalanan pun tidak akan bisa disekolahkan baik secara formal maupun tidak. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pun akan disedikitkan jumlah dananya dari negara. Celakanya lagi, biaya pendidikan pun akan semakin mahal sebab subsidi anggaran pendidikan kepada sekolah pun akan dikurangi.
Sekolah pun akan mencari jalan lain untuk menghidupi sekolahnya, sebut saja dengan menarik iuran pendidikan pada orang tua murid dan segala bentuk penarikan lainnya. Sementara orang tua murid akan pontang-panting bekerja mencari uang untuk tetap menyekolahkan putra-putrinya. Pendidikan tinggi pun juga demikian. Banyak Perguruan Tinggi (PT) pun baik negeri maupun swasta akan menaikkan tarif biaya pendidikannya, sebut saja uang gedung, dan lain sejenisnya karena dana subsidi dari pemerintah sudah dirampingkan. Ini sesungguhnya persoalan krusial ketika anggaran pendidikan harus dipangkas demi penghematan keuangan negara. Dimanakah keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan? Padahal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Presiden Republik Indonesia berandai-andai akan menjadikan bangsa ini cerdas sesuai dengan Millenium Development Goals (MDGs). Memprioritaskan pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Benarkah Menteri Keuangan tidak mengerti impian Presiden selaku tuannya? Ataukah Menteri Keuangan jarang berkoordinasi dengan Presiden sehingga ia kemudian mengeluarkan surat edaran No. S-1/MK.02/2008 tersebut? Betulkah solusi yang ditawarkan pemerintah ini? Saya berpendapat, tawaran penyelesaian ini terlalu menyederhanakan persoalan.
Sebetulnya, pemerintah harus cerdas dan jeli dalam mengambil sebuah kebijakan politik tertentu. Melakukan pendataan cukup mendalam terhadap pelbagai hal di setiap departemen adalah jalan paling tepat untuk dilakukan. Mencari departemen paling urgen untuk tetap diberikan pos anggaran besar dan lebih besar ketimbang departemen lain adalah sebuah pertimbangan politik cukup brilian. Jangan melakukan pukul rata pada semua pos anggaran di semua departemen. Ini merupakan satu tindakan politik tidak proporsional. Proporsionalitas dalam menganggarkan keuangan di setiap departemen harus dijalankan dengan sangat baik, tepat dan cepat. Jangan karena negara defisit anggaran, pemerintah pun dengan sangat entengnya melakukan pemotongan dan penghematan anggaran secara membabi buta. Ini adalah satu keputusan politik terlalu gegabah dan menimbulkan efek sosial sangat tinggi. Ongkos sosialnya pun sangat mahal sebab akan merugikan bangsa yang berkeinginan luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Akhirnya, segala proses pendidikan pun akan berada dalam kegamangan. Harapan dan impian pun sama-sama tidak jelas. Harapan pendidikan adalah agar rakyat cerdas, itu hanya sebuah isapan jempol belaka. Impian pemerintah adalah supaya semua anak negeri bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan pun hanya sebuah jargon politik semata sebab telah digagalkan oleh seorang pejabat tertentu. Realitasnya adalah kemiskinan pendidikan merambah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Karena sesama elite negeri ini berada dalam misi kepentingan politik masing-masing untuk mengendalikan negara, bangsa dan pemerintahan ini. Tidak ada ruang perjuangan kerakyatan lagi dalam jantung mereka. Yang mereka perjuangkan adalah memasukkan dan coba memenangkan sekuat mungkin kepentingan politiknya. Politik kekuasaan di bangsa ini sangat kuat. Politik pendidikan kekuasaan untuk membodohkan bangsa lebih besar volumenya ketimbang politik pendidikan kerakyatan dan memberdayakan rakyat. Ini sebuah potret bangsa yang hidup dalam hukum rimba. Siapa yang kuat dengan kepemilikan kekuasaannya di jaring kekuasaan elite akan menjadi pemenang, sementara mereka yang berada di arus paling bawah akan menjadi tumbal kepentingan politik yang kuat. Politik untuk menjatuhkan, mengalahkan dan tidak memedulikan kepentingan bangsa lebih besar sudah sangat kuat terbentuk dalam sikap, pikiran dan tindakan elite negeri ini.
Akibat surat edaran No. S-1/ MK.02/2008 dari Menteri Keuangan, tunggu saja kemerosotan masa depan pendidikan kita. Sehingga yang miskin dan papa akan semakin jauh dari akses pendidikan. Mereka pun akan semakin bodoh. Sementara yang berduit akan semakin dekat untuk mengonsumsi pendidikan. Mereka pun akan kian pintar. Padahal bila berbicara kuantitas rakyat kita, apakah berada dalam status kaya atau miskin, maka mayoritas rakyat di ibu pertiwi ini menempati ruang "tidak mampu secara ekonomi". Ini adalah sebuah realitas tak terbantahkan. Ada disparitas sangat lebar di antara mereka. Sehingga pendidikan negeri ini pun ibarat barang yang diperjual-belikan dengan harga sangat mahal. Tidak punya uang, jangan harap bisa menikmati pendidikan. Secara telanjang bulat, surat edaran ini adalah bentuk ketidak pedulian pemerintah terhadap pendidikan serta nasib pendidikan anak negeri. Surat edaran ini pun bertolak belakang dengan UUD '45 yang memberi amanat dan mandat kepada pemerintah untuk memberikan 20 persen anggaran pendidikan di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Konstitusi tertinggi di negeri ini bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, namun pelaku konstitusinya berbicara dan bertindak biner. Ini sungguh sebuah kebijakan politik pemerintah yang tidak Pro-rakyat dan tidak mendukung terciptanya masyarakat yang melek pendidikan.

Penulis adalah Pendidik, Aktivis Freedom Institute for Social Reform & Peneliti pada Lakpesdam NU Kota Malang

ENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH KETERPURUKAN PENDIDIKAN NASIONAL Oleh: Ihsan Sa’id**

PENDIDIKAN ISLAM
DI TENGAH KETERPURUKAN PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh: Ihsan Sa’id**

A. Pendahuluan
Sebelum menemukan paradigma baru untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan Islam, sekiranya perlu menengok kembali bagaimana kondisi pendidikan nasional selama ini. Hal ini dilakukan untuk dapat mengetahui apa dan bagaimana permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan nasional. Untuk itu dapat diketahui langkah apa yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut penyelesaian masalah tersebut. Fakta berbicara, pendidikan nasional berada di ujung tanduk – tidak tentu arah dan nasibnya. Semua kondisi menggambarkan betapa muramnya wajah pendidikan nasional. Dimulai dari minimnya kualitas pembelajaran, rendahnya profesionalisme guru, minat belajar siswa yang cenderung menurun, terbatasnya sarana dan prasarana dan kurikulum yang tidak menentu yang secara representatif tidak memenuhi kebutuhan siswa. Tentu implikasi logis yang harus diterima adalah rendahnya kualitas output yang dihasilkan. Tilaar (2004:66) menggambarkan bahwa;

Pendidikan nasional terseok-seok dilanda krisis. Mungkin krisis itu sendiri disebabkan kualitas output pendidikan nasional itu sendiri. Krisis yang menimpa pendidikan nasional bukan hanya semata-mata karena krisis dana, tetapi mungkin pula karena kekaburan arah dan kehilangan kemudi. Pendidikan nasional seperti film Mutiny on The Bounty saja. Kapal Indonesia bisa karam apabila sumber daya manusianya berseteru dan berkelahi satu dengan yang lain. Oleh karena itu, pembenahan pendidikan nasional merupakan syarat mutlak untuk membenahi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang ditimpa krisis yang berkepanjangan.

Yang tidak kalah menarik juga, pendidikan nasional selalu dihebohkan dengan tersedianya dana yang minim untuk membenahi pendidikan nasional. Sebenarnya masalah bukan hanya sekedar dana yang kecil, tetapi pemerintah mulai kehilangan komitmen dalam bagaimana mengembangkan pendidikan nasional untuk membangun kembali bangsa Indonesia dan untuk mewujudkan cita-cita reformasi yaitu membangun masyarakat baru yang demokratis dan sejahtera. Sebagaimana pendapat Surakhmad (2003:37) dalam Majalah Fasilitator menjelaskan bahwa pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan selalu tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat dan selalu tidak konsisten dalam pengembangan pendidikan. Akibatnya kualitas pendidikan nasional sangat minim.
Melihat realita tersebut, patut dipertanyakan di mana letak relevansi janji manis pemerintah seperti saat kampanye calon atau tujuan pembagunan nasional yaitu membangun rakyat Indonesia secara keseluruhan dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan realita pendidikan yang ada, semuanya omong kosong. Pendidikan nasional yang sedang terpuruk sangat membutuhkan paradigma baru – paradigma pencerahan – yang dapat mendukung terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, sebagaimana idealnya. Dengan kata lain, perlu dilakukan rekonstruksi paradigma baru yang dapat menjamin lahirnya era baru dalam pendikan nasional. Hal ini dilakukan untuk mereposisi pendidikan sebagaimana mestinya yang nota bene sebagai ikon utama dalam pembentukan manusia Indonesia secara keseluruhan.
Paradigma pendidikan nasional haruslah sesuai dengan cita-cita reformasi yaitu membangun masyarakat Indonesia yang baru, termasuk umat Islam di dalamnya. Sebagaimana Tilaar (2004:76) bahwa “Paradigma baru pendidikan nasional tentunya diarahkan dalam rangka koridor reformasi menuju masyarakat Indonesia baru tersebut. Kisi-kisi koridor reformasi yaitu demokrasi, menghormati nilai-nilai manusia atau HAM, dan otonomi daerah yang ditujukan kepada tanggung jawab masyarakat di dalam kehidupannya dalam masyarakat yang terbuka”.
Pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional dengan sendirinya memerlukan paradigma baru. Dalam hal ini, paradigma yang dibutuhkan adalah paradigma yang mampu melahirkan manusia yang beriman dan berpengetahuan dengan senantiasa memodifikasikan diri agar sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Dari realita dalam wacana di atas, penulis tertarik mengangkat realita dan permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan Islam dan langkah-langkah konstruktif yang harus dilakukan untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi pendidikan Islam di tengah krisis pendidikan nasional. Semoga dengan makalah ini sedikit mampu memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan pendidikan nasional di negara ini. Untuk lebih jelasnya akan dideskripsikan pada pembahasan berikut ini.
Akan tetapi, berbicara tentang permasalahan pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan Islam di dalamnya sungguh kompleks sekali, tidak ubahnya seperti menyelesaikan benang kusut, harus hati-hati dan juga dipertanyakan dari mana dimulai. Mungkin tulisan singkat ini hanya dapat merangkum sebagaian kecil saja dari permasalahan yang muncul di permukaan yang dapat dilihat secara nyata dalam keseharian kita.

B. Pendidikan Islam di Indonesia dalam Realita
Barangkali dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan penolong utama bagi manusia untuk menjalani kehidupan ini. Tanpa pendidikan, maka manusia sekarang tidak akan berbeda dengan keadaan pendahulunya pada masa purbakala. Asumsi ini melahirkan suatu teori ekstrim, bahwa maju mundur atau baik buruknya suatu bangsa akan ditentukan oleh keadaan pendidikan yang dijalani bangsa itu.
Memang sangat rasional apabila pendidikan menjadi indikator maju mundurnya sebuah bangsa. Indonesia yang saat ini sedang mengalami keterpurukan dalam segala aspek kehidupan merupakan imbas dari kegagalan pelaksanaan pendidikan, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Kegagalan pendidikan di Indonesia telah berakibat pada kemerosotan moral bangsa yang ditandai dengan munculnya tindakan kriminal di mana-mana. KKN meraja lela di semua instansi, pembantaian, pembunuhan, tawuran antar pelajar bahkan antar kampung dan konplik antar golongan kerapkali mewarnai sejarah bangsa ini.
Yunus (2000:26-27) dalam tulisannya yang berjudul Pluralitas Agama dan Kekerasan Kolektif (Perspektif Sosiologi Agama) dalam majalah El Harakah menjelaskan bahwa keterpurukan negara ini telah menjadi topik yang begitu hangat di bicarakan di seluruh dunia. Bahkan nama baik negara ini telah tercoreng di mata luar negeri dalam segala aspek. Oleh mereka dipertanyakan relevansi keber-agamaan bangsa ini dengan prilakunya.
Dengan demikian, tanggung jawab pendidikan untuk membangun kembali bangsa yang telah lama rusak, semakin berat dan membutuhkan waktu yang lama dan usaha yang ekstra maksimal. Jadi, berdasarkan asumsi di atas bahwa baik buruknya negara ini di masa yang akan datang tergantung pada pendidikan yang diselengarakan oleh negara ini.
Untuk menyikapi permasalahan tersebut, sebagian tanggung jawab menurut asumsi di atas, terletak di pundak lembaga pendidikan Islam yang sekaligus sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Secara ideal, pendidikan Islam akan berusaha mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara menyeluruh. Dengan kata lain, manusia yang berkualitas unggul baik lahiriah maupun batiniah serta berbobot dalam prilaku, sehingga survive dalam arus dinamika perubahan sosial budaya pada masa hidupnya (Arifin, 2003:204).
Betapa besar tanggung jawab pendidikan Islam, di samping mencetak manusia yang mempunyai ketajaman intelektual tetapi juga harus melahirkan manusia yang mempunyai kedalaman spiritual dan keluhuran budi pekerti. Tetapi, sungguh disayangkan dalam pembangunan aspek moral, hanya dalam porsi yang kecil saja menjadi tanggung jawab pendidikan Islam.
Memang terasa janggal, dalam suatu komunitas masyarakat Muslim, pendidikan Islam tidak diberikan kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Perhatian pemerintah yang dicurahkan pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran masyarakat sosialistis religius. Dan bahkan tidaklah salah jika dikatakan, bahwa pendidikan Islam di Indonesia justru menempati kelas dua dalam masyarakat yang mayoritas Muslim.
Beberapa bukti tentang kecilnya perhatian pemerintah dalam pengembangan pendidikan Islam terlihat dari minimnya anggaran untuk lembaga-lembaga pendidikan Islam dan lembaga pendidikan Islam tidak diberikan kewenangan secara otonom oleh pemerintah dalam berpastisipasi membangun bangsa yang besar ini. Seperti dalam berita Republika (8 September 2001) yang dikutip oleh Daulay (2004:58-60) bahwa anggaran pendidikan untuk lembaga-lembaga pendidikan Islam sangat minim sehingga lembaga-lembaga tersebut tidak mampu melaksanakan pembelajaran secara maksimal lantaran minimnya sarana prasarana, kualitas guru, dan sistem kurikulum yang tidak jelas karena tidak diberikan kewenangan secara otonom oleh pemerintah. Seperti pada RAPBN 2002 anggaran pendidikan yang diajukan hanya Rp. 11.552 triliun, sekitar 24,5% dari anggran pembangunan Rp. 47.147 triliun. Dari anggaran tersebut pembagian dana pendidikan untuk lembaga pendidikan Islam dengan sekolah umum tidak proporsional. Sekolah umum selalu diunggulkan.
Tidak jauh berbeda seperti yang diungkapkan oleh Nata (2003:20) bahwa selama masa Orde Baru anggaran untuk pendidikan tidak pernah mencapai apalagi lebih dari 10% dari anggaran APBN yang telah ditetapkan. Padahal sejatinya pendidikanlah yang harus menjadi prioritas utama jika Indonesia ingin keluar dari keterpurukan yang berkepanjangan ini. Pemerintah justru tertarik membangun sektor-sektor riil yang lebih menguntungkan secara finansial.
Selain minimmya dana yang dikucurkan pemerintah untuk anggaran pendidikan nasional, menurut Daulay (2004:156) bahwa secara struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam berada di bawah kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pendanaannya. Problema yang timbul adalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama selain kecil juga dipergunakan untuk membiayai berbagai sektor di lingkungan Departemen Agama termasuk pembiayan pendidikan. Akibatnya alokasi pendanaan bagi lembaga pendidikan yang berada di bawah Departemen Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatasnya upaya-upaya pengembangan dan peningkatan kegiatan-kegiatan nonfisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada biaya per siswa atau mahasiswa.
Lebih lanjut, Daulay (2004:156) menambahkan bahwa secara struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam akan dihadapkan pula dengan persoalan diberlakukannya UU. No. 22 Tahun 1999 yakni tentang Otonomi Daerah. Dalam hal ini, dari segi kebijakan pendidikan termasuk salah satu dari bagian yang pengelolaannya diserahkan ke daerah, sedangkan masalah tetap berada pengelolaannya di pusat.
Kesimpulan awal yang dapat kita berikan terhadap kinerja dan kebijaksanaan yang selalu tidak representatif dengan selera konsumen (not costumer satisfaction oriented), karena pemerintah mempunyai perhatian yang begitu besar dan hanya ingin memajukan pengetahuan atau pendidikan umum. Padahal baik buruknya kualitas moral atau kpribadian sebuah bangsa tergantung pada kualitas pendidikan keagamaannya. Hal itu tidak pernah dipikirkan oleh pemerintah. Implikasi menyedihkan yang telah dan sedang diterima pemerintah saat ini adalah pemerintah sedang disibukkan oleh pekerjaan baru, yaitu memperbaiki moral aparat-aparat negara dan masyarakat yang cenderung bejat dan keluar dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Siapakah yang patut dipersalahkan. Tentu kenyataan tersebut merupakan akibat dari rendahnya kuliatas pendidikan Islam kita.
Muhaimin (2005:17-1) juga menggambarkan bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami keprihatinan yang bertubi-tubi. Hasil survei menunjukkan bahwa negeri kita masih bertengger dalam jajaran negara yang terkorup di dunia, KKN melanda di berbagai institusi, disiplin semakin longgar, kriminalitas meraja lela, hilangnya nilai-nilai kemaunisiaan, krisis moral dan sebagainya. Padahal secara kuantitas Indonesia merupakan negara yang mayoritas Muslim. Kondisi-kondisi yang menyedihkan tersebut merupakan akibat gagalnya pelaksanaan pendidikan agama secara maksimal.
Di samping kenyataan di atas, menurut Soebahar (2002:149-150) dan Usa (1991:3) dalam tulisannya yang berjudul Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta Suatu Pengantar dalam buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta bahwa pendidikan Islam dalam pendidikan nasional selalu menunjukkan kemunduran karena kurikulum pendidikan Islam seringkali tidak jelas arahnya. Pendidikan Islam semakin dipersempit baik di madrasah maupu0n sekolah umum. Prosentase pengetahuan umum dan pendidikan Islam di madrasah 70%:30%. Sementara di sekolah umum pendidikan Islam hanya dilaksanakan satu kali dalam seminggu dengan batas waktu 2X45 menit. Tentu hal tersebut adalah sebuah ketimpangan yang sangat mencolok. Padahal menurut Muhaimin (2005:11) bahwa kurikulum adalah way of life-nya penyelenggaraan pendidikan. Begitu pentingnya kurikulum bagi pelaksanaan pendidikan sudah tentu membutuhkan kurikulum yang berkualitas yang jelas arah dan tujuannya.
Kenyataan di atas, disebabkan oleh berbagai kelemahan-kelemahan yang melanda pendidikan Islam. Kesempatan untuk memperoleh legitimasi yang lebih luas dan perbaikan secara mendasar, hampir tidak pernah diperolehnya. Ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam upaya mempertahankan eksistensinya, karena jika posisinya hanya mampu bertahan, maka berarti sebuah kemunduran, karena era kemajuan telah terpacu dengan hebat sesuai dengan arus perubahan sosial budaya dan pendidikan Islam sendiri selalu ketinggalan zaman. Kondisi ini menjadikan pendidikan Islam sebagai sebuah lembaga yang tidak adaptif atau bahkan konservatif.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu dahsyat dewasa ini, pendidikan Islam semakin dipertanyakan relevansinya, terutama jika dikaitkan dengan kontribusinya bagi pembentukan budaya modern yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks ini, pendidikan Islam mengalami degradasi fungsional, karena pendidikan di negara ini semakin berorientasi materialistik. Pendidikan cenderung ditetapkan sebagai aset sosial yang memiliki fungsi khusus dalam menyiapkan tenaga kerja yang akan memenuhi tuntutan dunia kerja yang bercorak industrialistis. Akurasi suatu program pendidikan dilihat dari seberapa jauh output pendidikan tersebut dapat berpartisipasi aktif dalam mengisi lapangan kerja yang disediakan oleh dunia industri.
Dengan kekurangan-kekuarangan yang dihadapi oleh pendidikan Islam seperti tergambar di atas, Ma’arif, dkk. (1991:12) berpendapat bahwa;
Pendidikan tidak akan bisa mengejar ketertinggalannya dengan lompatan-lompatan yang berarti sesuai arus perubahan, apalagi dalam memenuhi selera konsumen. Jika kita lihat adanya penambahan lembaga pendidikan Islam secara kuantitas, maka hal itu bukan berarti adanya kemajuan, tetapi karena semakin besarnya anak didik yang tidak tertampung pada lembaga pendidikan umum.

Sejalan dengan fakta di atas, fakta klasik yang cukup memprihatinkan yang juga selalu muncul di tengah masyarakat bahwa lembaga pendidikan Islam selalu menjadi pelarian bagi siswa-siswa yang tidak tertampung di sekolah umum. Tidak apabila pendidikan Islam atau lembaga pendidikan Islam dikatakan bukanlah sebuah kebutuhan. Dengan kata lain, lembaga pendidikan Islam hanya sebagai pelengkap, bukan sebagai mind actor yang merupakan subsistem yang integral dalam pendidikan nasional.
Seperti yang dipaparkan Daulay (2004:156) bahwa pendidikan Islam menjadi lembaga pendidikan kelas dua, sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat Muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar lembaga pendidikan Islam secara kualitas akademik dan proses pendidikan tidak menjanjikan. Kekuarangan dana dan tenaga pendidik yang berkualitas merupakan masalah utama yang menjadi penyebabnya.
Di samping masalah-masalah di atas terdapat dua permasalahn yang sangat krusial yang turut mempengaruhi kemunduran pendidikan Islam, yaitu sistem pendidikan nasional yang bercorak sentralistik dan adanya pemahaman dikotonomi ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama di tengah masyarakat sehingga lahir dua sistem pendidikan yaitu pendidikan dan pendidikan umum.
Menurut Tilaar (2004:6) bahwa sistem pendidikan nasional selama ini bercorak sentralistik, di mana manajemen pendidikan berasal dari struktur kekuasaan dari Pemerintah Pusat dan menjalar ke lembaga-lembaga pendidikan. Dengan sendirinya lembaga-lembaga pendidikan tersebut tidak mempunyai otonomi karena segala sesuatu telah ditentukan oleh suatu sistem yang ketat dari atas.
Dengan pola sentralistis yang demikian, lembaga-lembaga pendidikan tidak mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri, sebab segala sesuatu telah ditentukan prosedurnya. Masyarakat tidak mempunyai hak di dalam menentukan arah dan jalannya proses pendidikan itu sendiri. Masyarakat hanya menjadi penonton dan tidak mempunyai tanggung jawab di dalam terjadinya proses pendidikan. Output pendidikan bukan saja menjadi masalah bahkan menjadi beban masyarakat. Pendidikan Islam sejak lahirnya yang tumbuh dari masyarakat, tumbuh dari bawah, oleh sebab itu, mengenal manajemen yang tumbuh dari bawah.

C. Problem Solving; Upaya Mendinamisasikan Pendidikan Islam
Uraian di atas walaupun belum rinci, sudah dapat menyajikan suatu telaah umum yang sangat dini tentang realitas pendidikan Islam dalam era transformasi sosial budaya yang dewasa ini berkembang pesat di Indonesia. Dalam proses transformasi sosial budaya ini, ternyata berbagai pranatanya juga terpengaruh, karena harus melakukan adaptasi besar-besaran – bukan sekedar modifikasi – namun dalam banyak hal harus direkonstruksi atau reorientasi. Pranata pendidikan Islam yang secara kebetulan belum merupakan pranata canggih di saat masuknya pola budaya baru, yang memerlukan dukungan dari lembaga pendidikan, maka di saat itu pula dapat diketahui bahwa dukungan yang diharapkan itu tidak mungkin, karena lembaga ini masih bergelut dengan persoalan-persoalan interennya yang sebetulnya sudah klasik. Di samping itu memang harus diakui bahwa lembaga pendidikan Islam belum mempunyai kesiapan untuk mengadakan dialog dengan dunia yang ada di luar dirinya, karena institusi pendidikan ini belum mampu menuntaskan mekanisme institusionalnya untuk menyangga modernisme di segala segi kehidupan. Sebagaimana pendapat Karim dalam Rais bahwa “Kehadiran lembaga pendidikan dalam era modern Indonesia, cenderung berjalan apa adanya, termasuk IAIN”.
Lembaga pendidikan Islam seperti IAIN tampaknya juga masih jauh dari harapan untuk tampil meyakinkan dalam bersaing dengan lembaga-lembaga lain pada umumnya, misal yang ada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan Nasional baik dari segi fisik, maupun dari segi konsepsionalnya.
Jadi, telah terjadi diskrepansi (ketidaksesuaian) di dalam dunia pendidikan nasional. Ketidaksesuaian antara tujuan dan kenyataan yang terjadi. Ambisi yang besar dari bangsa besar dengan kemauan dan kemampuan yang kecil. Tentu hal tersebut adalah paradoksi yang memprihatinkan. Dalam buku Undang-Undang RI N0. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003 tercantum keputusan Presiden RI bahwa;
…sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan (Tim redaksi Fokusmedia, 2003:1-2).

Dalam keputusan tersebut tersirat sebuah cita-cita besar dari negara ini, yaitu membangun pendidikan yang adaptif dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Ketimpangan besar yang terjadi ketika cita-cita besar tersebut tidak pernah dimanifestasikan dalam usaha-usaha yang sungguh-sungguh oleh pemerintah. Pendidikan nasional yang didalihkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun bangsa Indonesia secara keseluruhan tidak pernah (tidak mau) dilakukan secara maksimal dengan terobosan-terobosan yang berarti. Alhasil, pendidikan nasional (termasuk pendidikan Islam di dalamnya) telah terjerembab pada keterpurukan yang berkepanjangan.
Dengan berpijak pada kenyataan tersebut, pendidikan Islam merupakan korban dari kecelakan sejarah dalam dinamika pendidikan nasional. Pendidikan Islam hanya mampu bertahan tanpa ada perkembangan yang signifikan. Dalam realitanya, pendidikan Islam telah menjadi korban dari kebijakan yang pincang – diskriminatif – dari pemerintah.
Untuk menaggulangi permasalahan-permasalahan yang muncul dibutuhkan ide-ide kreatif untuk membangun kembali pendidikan Islam guna mereposisi eksistensi dan peranannya di tengah bangsa yang besar ini. Ada beberapa terobosan kreatif yang dapat digalakkan dalam membangun kembali pendidikan Islam sesuai dengan cita-cita reformasi yang sering diteriakkan oleh elit-elit politik negara ini, yaitu membangun Indonesia Baru dalam lingkaran demokrasi dan Pancasila. Adapun terobosan-terobosan tersebut di antaranya;
1. Desentralisasi pengelolaan pendidikan nasional
Desentralisasi pendidikan adalah ide utama apabila pendidikan dikaitkan dengan otonomi daerah. Di dalamnya ada otonomi pendidikan, di mana daerah berhak menentukan arah pendidikannya sesuai dengan kebutuhan daerah, namun tetap berkoordinasi dengan pemerintah pusat secara proporsional. Dengan kata lain, pemerintah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dalam peraturan yang berkeadilan serta perimbangan antara keuangan pusat dan daerah. Dengan demikian, bangsa Indonesia mampu membangun pendidikannya dengan kebhinekaan yang dimiliki.
Selama ini pendidikan nasional dengan segala kebijakan yang ada di dalamnya dikenal sangat sentralistik, birokratis dan mengalami kematian inovasi. Pendidikan dijadikan sebagai salah satu alat oleh pemerintah dalam melanggengkan kekuasaan dan menggiring rakyat kepada tujuan politik yang diinginkan. Akibatnya, tidak akan lahir suatu masyarakat yang terbuka yang demokratis atau terwujudnya masyarakat yang madani, di mana setiap manusia mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensinya dan menyumbangkannya untuk sebesar-sebesarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga, masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat yang miskin partipasi, disartikulatif dan involutif. Dalam artian, bahwa masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang tidak mampu mengekspresikan ide, harapan, aspirasi dalam membangun negara ini.
Sejalan dengan pandangan di atas, Tilaar (2002:6) mengatakan bahwa;

“…telah menjadi kebenaran umum di tengah masyarakat Indonesia bahwa betapa sistem pendidikan nasional kita terlalu disentralisasikan. Di dalamnya dikenal satu jenis kurikulum meskipun embel-embel adanya muatan lokal. Dan juga, dikenal satu jenis ujian negara yang didalihkan untuk mencapai kualitas. Namun demikian, praktik kebijakan sentralisasi telah mematikan berbagai jenis inovasi pendidikan dan menghasilkan manusia Indonesia yang mandul inisiatif. Akibatnya ialah sistem pendidikan nasional yang melahirkan generasi muda Indonesia yang mempunyai watak pegawai negeri yang tidak berinisiatif dan hanya bergerak karena petunjuk dari atasan.

Terkait dengan hal tersebut, pendidikan Islam yang merupakan subsistem dari pendidikan nasional menunutut adanya desentaralisi dalam pengelolaan pendidikan, supaya lembaga pendidikan Islam mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya dalam menjawab perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial dan budaya yang begitu pesat.
Pendidikan Islam sekalipun berada di bawah koordinasi Departemen Agama, namun secara struktural Departemen Agama bukan lembaga yang otonom. Untuk itu, bila perlu lembaga pendidikan Islam berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan Nasional, karena di Departemen Pendidikan Nasional masalah pendidikan sudah di otonomkan. Selain itu juga, apabila lembaga pendidikan Islam berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan Nasional maka akan memperoleh fasilitas dan perhatian yang sama seperti yang diberlakukan terhadap sekolah umum. Daulay (2004:61) berpendapat apabila lembaga pendidikan Islam selalu berada di bawah naungan Departemen Agama dikhawatirkan pendidikan Islam akan selalu tertinggal, karena Depatemen Agama bukanlah lembaga yang otonom, termasuk di dalamnya pendidikan agama.
2. Menerapkan manajemen pendidikan Islam dengan pola simbiotik (pendidikan yang tumbuh dari bawah)
Manajemen pendidikan dalam pola simbiotik diakui adanya berbagai jenis lembaga pendidikan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini berarti pendidikan yang diselenggarakan oleh negara, yang diselenggarakan oleh masyarakat sendiri (pendidikan swasta) termasuk pendidikan Islam di dalam bentuk pesantren, madrasah dan pendidikan tinggi Islam mempunyai hak hidup dan bereksplorasi untuk kemajuan pendidikannya. Menurut Tilaar (2002:82-83) bahwa;
Manajemen pendidikan dalam pola simbiotik mensyaratkan dua hal yaitu masyarakat harus memiliki pendidikannya. Apabila pendidikan itu asing dari masyarakat sebagai stake holder dari pendidikan, maka tidak mungkin dapat dikembangkan suatu pola simbiotik antar lembaga-lembaga pendidikan di dalam masyarakat. Inilah inti dari konsep pendidikan berbasis masyarakat (community-based education). Selanjutnya, dengan adanya beragam jenis lembaga pendidikan yang ada di dalam masyarakat, maka perlu adanya otonomi lembaga-lembaga pendidikan itu. Inilah yang dikenal dengan sebutan school-based management. Tanpa adanya otonomi pendidikan, maka akan berlaku pola tunggal karena dia hidup dan dimiliki oleh masyarakat di mana pendidikan itu berada.

Jadi, manajemen pendidikan dalam pola simbiotik merupakan manajemen pendidikan yang tumbuh dari bawah. Dalam artian, masyarakat mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam membangun pendidikannya. Untuk itu, kerja sama yang sinergis antara lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat sangat dibutuhkan. Hal ini supaya masyarakat merasa memiliki dan terpanggil untuk membangun pendidikannya.
Lebih lanjut, menurut Tilaar (2002:83) bahwa manajemen pendidikan dalam pola simbiotik dalam implementasinya, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berada di daerah seperti madrasah (negeri maupun swasta) merupakan lembaga yang otonom, namun sinergis. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga tersebut dapat dikembangkan menjadi lembaga yang efisien dan dapat mempergunakan berbagai sumber-sumber pendidikan di daerahnya. Masyarakat daerah memegang peranan aktif dalam mengelola pendidikan dan sebagai mitra Pemerintah Daerah dalam membantu serta mengawasi pelakasanaan pendidikan di daerah.
Selanjutnya, dalam kemitraan pengelolaan ini Pemerintah Daerah berfungsi memfasilitasi pelaksanaan pendidikan di daerah dan mengatur kerjasama antar lembaga pendidikan di daerahnya. Termasuk di dalam hal ini mengontrol output dari lembaga-lembaga pendidikan di daerahnya dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia. Sedangkan Pemerintah Pusat berfungsi mengatur standar-standar pendidikan nasional. Pemerintah pusat tidak boleh campur tangan atau merecoki otonomi dan manajemen lembaga-lembaga pendidikan di daerah.
3. Mengadakan kerja sama dengan pihak luar negeri dan meminta pinjaman dana pendidikan untuk membangun kembali pendidikan di negara ini (Madjid, dkk., 1999:17)
Seperti dijelaskan di atas bahwa permasalahan yang selalu menghebohkan pendidikan nasional adalah masalah minimnya dana pendidikan. Dalam hal ini, salah satu alternatif untuk menanggulangi permasalahan tersebut adalah mengadakan kerja sama dengan pihak luar negeri dan meminta pinjaman dana pendidikan. Sebenarnya penulis sangat tidak sepakat dengan langkah ini, karena selama ini donatur luar negeri khususya Eropa dan atau negara-negara Barat dalam memberikan bantuan selalu ada tendensi kepentingan. Meski kita tidak boleh berburuk sangka, tetapi hal itu sangat perlu diwaspadai.
Sikap phobia seperti itu sangat masuk akal, karena selama ini hal tersebut memang telah terbukti. Tujuan utama mereka adalah menguasai dan merusak sistem ekonomi negara-negara yang mayoritas Muslim. Seperti yang dikatakan oleh Gray (2004:) bahwa pihak donatur luar negeri seperti IMF dan Bank Dunia selalu mempunyai kepentingan jahat setiap memberikan bantuan kepada negara-negara berkembang, terutama negara-negara yang mayoritas Muslim. Di samping pemikik IMF dan Bank Dunia adalah orang Yahudi dan Nasrani yang nota bene adalah komplotas Amerika Serikat dan ingin menghancurkan umat Islam dan juga ada misi agama di dalamnya.
Untuk itu, kerja sama yang dilakukan oleh negara ini sebaiknya dengan negara-negara yang selama ini dikenal baik di mata dunia seperti Malaysia, Saudi Arabia, Brunai Darussalam, dan negara Islam lainnya. Hal ini sangat mendukung satabilitas ekonomi negara kita, ketimbang mengadakan kerja sama dengan negara Eropa dan atau negara-negara Barat.
Tambahan dana merupakan salah satu solusi yang sangat mendukung terlaksananya pendidikan nasional secara maksimal, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Dana dapat dikatakan sebagai faktor utama penentu keberhasilan pendidikan. Dengan dana yang cukup, fasilitas pendidikan akan tersedia dan tenaga pendidik yang berkualitas mampu direkrut oleh lembaga pendidikan yang kekurangan tenaga pendidik profesional seperti lembaga pendidikan Islam.
4. Lembaga-lembaga pendidikan Islam setidaknya mendirikan dan mengembangkan sentral-sentral ekonomi seperti koperasi, mini market, toko dan lain-lain sebagai salah satu penunjang dana pendidikan.
Menurut Tilaar (2002:80) bahwa “Pendidikan Islam di dalam sejarahnya adalah lembaga yang cenderung untuk berdiri sendiri. Pada masa kolonial, lembaga pendidikan Islam tidak bersedia menerima subsidi atau menggantungkan diri kepada pemerintah. Lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah lembaga-lembaga yang berdiri sendiri”.
Dengan merunut pada pandangan tersebut, dari segi keuangan lembaga pendidikan harus mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pendidikannya. Lembaga pendidikan Islam jangan hanya menunggu kucuran dana dari pemerintah ataupun donatur. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam harus mampu memberdayakan sumber daya yang dimilikinya. Jika tidak lembaga akan sulit berkembang dan mengejar ketertinggalannya. Kemandirian lembaga pendidikan Islam dapat diimplementasikan dengan mendirikan dan mengembangkan sentral-sentral ekonomi.
Apabila setiap lembaga pendidikan Islam mempunyai sentra ekonomi, lembaga-lembaga pendidikan Islam akan mempunyai sumber dana aternatif untuk membiayai kegiatan pendidikan. Seperti yang dilakukan oleh UIN Malang dengan mini market sebagai pusat bisnisnya, Universitas Muhammadiyah Malang dengan hotelnya dan Universitas Brawijaya dengan mini marketnya, merupakan beberapa contoh yang dapat dilakukan sebagai usaha dalam penggalangan dana pendidikan. Di madrasah dapat dibangun kopresai madrasah, toko-toko yang dikelola oleh madrasah.
5. Mensiasati kekurangan jam pengajaran agama dengan merubah orientasi dan fokus pengajaran agama yang semula bersifat subject matter oriented menjadi pengajaran yang berorientasi pada pengalaman belajar dan pembentukan sikap keagamaan melalui pembiasaan hidup dan menambah jam belajar di luar jam sekolah (Nata, 2003:23)
Salah satu penyebab terjadinya degradasi moral umat karena kegagalan pendidikan, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Selama ini pengajaran agama masih pada proses transformasi pengetahuan belaka dengan mengesampingkan pengalaman belajar bagi siswa. Akibatnya terbentuklah generasi yang hanya menghafal materi bukan generasi yang menguasai, memahami dan mengamalkan ajaran agama.

D. Penutup
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung cukup lama. Di dalam perjalanannya itu telah terjadi dinamika. Perubahan-perubahan itu pada dasarnya adalah ilmiah. Perubahana-perubahan ke arah kemajuan pendidikan yang bersumber dari ajaran Islam merupakan trend masa kini. Kendatipun kesadaran umat Islam Indonesia telah tumbuh sejak hampir seratus tahun yang lalu bahwa pendidikan Islam bukanlah semata-mata pendidikan yang mengarah kepada pendidikan ukhrawi saja, namun untuk meralisasaikannya dalam bentuk nyata masih terasa banyak hambatan. Hambatan-hambatan itu bisa disebabkan faktor intern dan bisa juga karena faktor ekstern. Namun, upaya untuk menanggulangi hambatan-hambatan itu belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja.
Berkenaan dengan itu pengkajian-pengkajian pendidikan secara mendalam dan menukik masih sangat dibutuhkan. Dengan pengkajian yang mendalam akan dapat disatukan visi dalam menatap masa depan dan sekaligus dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, baik dari teori maupun praktik. Inilah tanggung jawab generasi muda Muslim untuk membangun kembali negara ini, dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan yang aplicable dan compatible agar tetap survive dalam setiap perubahan konteks ruang dan waktu. ***
Salam perjuangan…!
Ingat! Sebagai mahasiswa Tarbiyah, pendidikan Islam adalah Manhaj al-Fikr yang tidak bisa ditawar lagi…!!!

foto unik 1