Rabu, 17 Februari 2010

Selasa, 12 Mei 2009

KISAH SUKU DIWAMENA

KISAH TERSISA DILEMBAH BALIEM

banyak yang tak yakin bahwa dizaman yang serbacomputerized seperti sekarang.
masih ada sekelompok orang diwmena,yang hidup dengan budaya zaman batu.
seperti tinggal dirumah kayu beratap ijuk,berlantai jerami,tanpa listik,tanpa kompor,memotong dengan kapak batu,dan tak berbaju.
kaum wanitanya merangkai akar dan sulur pohon sebagai rok,
sedang kaum priyanya menggunakan buah labu yang dikeringkan untuk koteka,
dan inilah sisa hidup yangprimitif dilembah baliem

BEDA SUKU BEDA KOTEKA




BEDA SUKU BEDA KOTEKA
dari cara mengenakanya
ternyata koteka bisi menjadi
identitas suku
sebab:suku dani memasang koteka
tegak menghadap keatas
sedang suku lani yang juga tinggal dilembah baliem
mengenakanya lurus kedepan

babi lebih mahal




BABI LEBIH MAHAL
masyarakat wamena yang tertingggal
tampaknya babi lebih mahal dari pada wanita
karena menabrak babi dendanya lebih mahal
dari pada bermain sek dengan wanita
disana hanya dengan sepiring nasi(yang termasuk barang mewah)
seorang peria dapat mendapatkan sek

MUMI TERBAIK
ini adalah mumi salah seorang kepala suku dani
yang meninggal 350 tahun lalu
mumi ini diawetkan secr tradisionL
ini mumi tertua dan terbaik dipapua
mumi ini terkenal karena sering diajak berpose oleh keturunannya
saking terkenalnya
kampung dimana dia berada dinamakan dusun mumi


KAMPANYE?
berkoteka ditenah kota diwamena
bukan suatu yang tabu atau memalukan
juga bukan berarti tidak menganal politik
buktinya meski pakai koteka,
lelaki setengah baya ini juga mengenal politik praktis
perhatikan ikat kepala yang menggambarkan salah satu partai
jangan jangan beginilah cara orang- orang suku dani ikut kampanye.
siapa tahu?

RAMBUT BERMINYAK BABI
Lelaki tua ini bukan satu satunya warga
suku dani yang bisa ditemui di kota
dengan tongkat dan batu ditangan
dia berjalan pulaang kekampungnya
didusun mumi,distrik kuruku,wamena.
perhatikan rambutnya yang di set minyak babi
agar selalu rapi

gambar unik dari irian



BERPOSE DEMI RP 5.000 mwmotret diwamwna bsrarti membayar, berapa, bergantung pada negosiasi.tapi umumnya 5.000-20,000 sekali jepret perorang. wanita dari tiga generasi berpose bareng bak potret keluarga demi 5.000

Tokoh Pendidikan Pater J Drost Meninggal Dunia Y04/Y01/Y03/MAS

Tokoh Pendidikan Pater J Drost Meninggal Dunia
Y04/Y01/Y03/MAS

Indonesia kembali kehilangan tokoh pendidikan yang lantang melakukan autokritik. Pater J Drost SJ, lengkapnya Drs Josephus Ignatius Gerardus Maria Drost SJ, Sabtu (19/2) sekitar pukul 16.15, meninggal dunia di Rumah Sakit Elisabeth Semarang, Jawa Tengah, dalam usia 80 tahun setelah mengalami gangguan prostat.
Meninggalnya Pater Drost merupakan kehilangan yang amat sangat bagi dunia pendidikan di Indonesia. Dialah sosok pendidik yang sejak muda hingga menjelang akhir hayatnya selalu peduli terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
"Pater meninggal karena sakit prostat, sebelumnya pernah menderita sakit jantung," kata Kepala SMA Kanisius Jakarta Romo Baskoro Poedjinoegroho SJ. Romo Baskoro belum tahu apakah Pater Drost meninggal akibat kanker prostat atau yang lainnya, yang ia ketahui Pater Drost menjalani operasi prostat.
Menurut Romo Baskoro, Pater Drost merupakan seorang pendidik yang ulung. Semasa hidupnya, Pater Drost banyak memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia pendidikan. Ia juga sungguh-sungguh bisa mengikuti perkembangan pemikiran dari para pemikir muda.
Romo Baskoro mencontohkan, ketika dia tampil menjadi pembicara bersama dalam sebuah seminar di luar Pulau Jawa beberapa tahun lalu, misalnya, Romo Baskoro sebelumnya khawatir kalau akan ada pertentangan pemikiran dua pastor dalam sebuah seminar tersebut. Ternyata, apa yang dikhawatirkan itu tidak terbukti.
Pater Drost ternyata memiliki sudut pandang lain dalam mengungkapkan gagasannya itu sehingga sama sekali tidak ada pertentangan. Ia bisa menampilkan pandangan lain dari sudut pandang yang lain pula yang tidak menimbulkan benturan pandangan dengan pendapat orang muda.
Sempat bercanda
Socius Provinsial Jesuit Indonesia Azis Mardopo SJ di Kamar Jenazah RS Elisabeth, mengatakan, sekitar pukul 14.00 siang Pater J Drost diantar sopir untuk check up di RS Elisabeth. Di jalan, Pater tidak menunjukkan tanda sakit, malah mengajak sopir bercanda.
Menurut Sr Monika, perawat di Wisma Emaus Pasturan Girisonta, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah -tempat Pater Drost tinggal selama ini-setelah check up Pater Drost dinyatakan sehat. Namun, ia minta dirawat di RS. Pater Drost kemudian masuk ruang Joseph dan mendapat perawatan dari dokter RS. Tak lama kemudian Pater Drost meninggal dunia.
Jenazahnya akan dimakamkan pada hari Senin (21/2) di Makam Jesuit Girisonta pukul 11.00, setelah Misa Requim di Kapel Girisonta pukul 10.00.
Sementara itu Provinsial Jesuit Indonesia Priyono Marwan SJ, mengatakan, Pater Drost adalah pribadi yang sangat mencintai pelayanannya. Pater dengan senang hati menerima tugas sebagai kepala sekolah setelah sebelumnya menjadi Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)-kini menjadi universitas-Sanata Dharma, Yogyakarta. "Ini sulit dilakukan oleh kebanyakan orang Indonesia, yang dengan senang hati turun jabatan," katanya.
Romo Ignatius Aria Dewanto, Novis Yesuit Girisonta yang ditemui di ruang jenazah, mengatakan, selama di Wisma Emaus Girisonta Pater Drost menerjemahkan buku asing. Buku itu diterbitkan untuk kalangan Serikat Jesus.
Pater Drost lahir di Jakarta pada 1 Agustus 1925. Ia pernah mendalami filsafat di Yogyakarta pada tahun 1952, dan pada tahun 1957 lulus sebagai sarjana fisika di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pendidikannya dilanjutkan di Teologia Yogyakarta, lulus tahun 1961. Ia pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 1962-1964. Ia menjabat Rektor IKIP Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 1964-1967.
Pada tahun 1976-1987, Pater Drost menjabat Kepala SMA Kanisius Jakarta. Kemudian pada tahun 1987-1991, ia menjabat Kepala SMA Gonzaga Jakarta dan sekaligus Rektor Kolese Gonzaga pada tahun 1987.
Sumber : Kompas (20 Februari 2005)
Prof Dr A Sartono Kartodirdjo
Mahaguru Sejarah Indonesia

Prof Dr A Sartono Kartodirdjo,

Guru Besar Ilmu Sejarah Un
iversitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, meninggal dunia di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Jumat 7 Desember 2007 pukul 00.45 WIB. Penulis buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru, kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 15 Februari 1921, itu memperkenalkan pendekatan multidimensi dalam penulisan sejarah.
Dia pionir generasi baru sejarawan Indonesia yang menerapkan metode penelitian modern dalam lingkup studi sejarah. Sejak setahun terakhir sudah telah dua kali dirawat di rumah sakit. Menurut putranya, Nimpuno, Sartono masuk RS Panti Rapih, Kamis (6/12/2007) malam, karena kondisi kesehatannya memburuk. Sebelumnya dia dirawat di rumah. Dia memang sudah lama sakit dan sudah sulit makan sendiri. Jenazah disemayamkan di rumah duka kompleks rumah dinas dosen UGM Bulak Sumur, Yogyakarta. Upacara penghormatan terakhir dilakukan di Balairung UGM. Dimakamkan di makam keluarga Astana Kadarismanan, Lemah Abang, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (8/11/2007) siang. Alamarhum Sartono meninggalkan seorang isteri, Sri Kadarjati, sama-sama berprofesi guru, yang dinikahinya pada 1948, dan dikaruniai dua anak. Sartono dilahirkan sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara kandung buah hati pasangan Tjitrosarojo (ayah) dan Sutiya (ibu) pada tengah malam di Wonogiri, 15 Februari 1921. Dia dibesarkan dalam ruang sosial budaya abangan, sebagai lingkungan paling awal pembentukan jati dirinya. Kemudian melalui dunia pendidikan formalnya di HIS, MULO, dan HIK, dia menyerap nilai budaya Barat. Terutama di HIK Muntilan, selain menyerap budaya Barat, Sartono juga menyerap nilai-nilai dan ajaran Kristiani secara lebih intensif. Sebab di HIK, dia mendapat pendidikan khusus sebagai (calon) bruder. Kendati dia tidak jadi bruder, karena akhirnya memilih karier sebagai guru, nilai-nilai yang diajarkan selama di HIK tetap menjadi pemandu dalam perjalanan hidupnya.
Sebelum menjadi dosen di UGM, Sartono mengajar di SMA di Jakarta, sambil kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), dan menyelesaikannya tahun 1956. Kemudian tahun 1959, Sartono menjadi dosen di UGM, dan di FKIP Bandung. Kemudian dia meraih gelar master dari Universitas Yale, AS (1964). Gelar doktor diraih dari Universitas Amsterdam, Belanda (1966) dengan disertasi: "The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia" (Pemberontakan Petani Banten 1888). Disertasi ini dinilai sebagai batu loncatan dalam studi sejarah Indonesia. Sebuah karya sarjana sejarah Indonesia pertama yang mengangkat peran wong cilik ke atas panggung sejarah, yang sebelumnya selalu diisi kaum elite, konvensional dan Neerlandosentris.

Penulisan disertasi ini, diakuinya didorong oleh hasrat melancarkan protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Neerlandosentris. Menurut M Nursam Alumnus Ilmu Sejarah UGM, yang tengah menulis Buku Biografi Sartono Kartodirdjo (masih dalam Proses Penerbitan), Sartono dengan menggunakan social scientific approach, memberikan cahaya terang dalam perkembangan dan arah historiografi Indonesiasentris. "Petani atau orang-orang kecil yang dalam sejarah konvensional menjadi nonfaktor, dalam karya Sartono menjadi aktor sejarah," tutur M Nursam.

Kemudian dia dikenal sebagai seorang sejarawan yang berperan bagi pengembangan ilmu sejarah di Indonesia dengan memperkenalkan pendekatan multidimensi dalam penulisan sejarah.

Tahun 1968, dia dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Sastra UGM.Dia seorang mahaguru sejarah Indonesia yang telah menghasilkan banyak ahli sejarah yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara. Murid-muridnya itu pula yang menjadi benang penyambung ide dan gagasan Sartono. Menurutnya, sejarawan harus tetap berpegang pada etos yang disebut mesu budi. Istilah itu dia sadur dari Serat Wedatama, yang bermakna mengandalkan kekuatan batin dan tidak bertumpu pada kemegahan dunia.

Puluhan buku dan ratusan artikel telah lahir dari tangannya. Pada tahun 2001, pada usia ke-80, Sartono masih menerbitkan buku berjudul Indonesian Historiography. Baginya, usia bukan alasan untuk berhenti berkarya. Menurutnya, kerja seorang ilmuwan adalah kerja tanda henti.

Dalam berbagai kesempatan, Sartono sering kali mengingatkan bahwa ilmuwan "jangan seperti pohon pisang, yang hanya berbuah sekali kemudian mati." Dia juga sering mengingatkan bahwa sikap asketis menjadi esensi dari keahlian seorang profesional. Menurutnya, apa yang dihasilkan adalah buah dari asketisme yang dihayatinya secara terus-menerus melalui ketekunan, ketelitian, ketuntasan serta kesempurnaan teknis.

Prof Dr Sartono Kartodirdjo ikut berperan dalam penulisan buku sejarah pada 1987 dan 1990 itu. Tapi dalam nama tim penulis nama Sartono hanya muncul hingga jilid II. Pada jilid III sampai VI namanya tiba-tiba hilang.

Lalu Sartono melepas kekecaawannya dengan menulis sendiri buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru (Jilid I berisi Zaman Kerajaan, dan Jilid II berisi Pergerakan Sejarah Nasional).

Sebelumnya Sartono sudah menulis The Peasants Revolt of Banten in 1888 (1966); Protest Movements in Rural Java, diterbitkan Oxford University Press (1973); Ratu Adil (1984); dan Modern Indonesia, Tradition and Transformation (1984).

Kepakarannya di bidang sejarah tidak hanya diakui di dalam negeri tetapi juga di mancanegara. Dia pernah berperan sebagai Koordinator Nasional UNESCO, dan ahli peneliti pada Institute of South East Asian Studies, Singapura. Berbagai penghargaan dari lembaga internasional dan universitas mancanegara telah dianugerahkan padanya.

Sebagaimana dikutip M Nursam, salah seorang kolega Sartono, Joseph Fischer, dari University of California, mengatakan, "Bagi saya, Pak Sartono merupakan kombinasi dari tokoh Arjuna, Gatotkaca, dan Semar. Arjuna karena kehalusan sikapnya. Gatotkaca karena kejujurannya, dan Semar karena kearifannya. Pak Sartono benar-benar seorang cendekiawan profesional dan seorang guru yang baik." ►ti-hotsan, dari berbagai sumber

Dana BOS dan Tunjangan Guru Terancam Dipotong Senin, 7 April 2008 | 01:21 WIB Bandung, Kompas - Anggaran pendidikan di dalam struktur Anggaran Pendap

Dana BOS dan Tunjangan Guru Terancam
Dipotong

Senin, 7 April 2008 | 01:21 WIB
Bandung, Kompas - Anggaran pendidikan di dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
2008 dipastikan akan dipotong sebesar 10 persen, dari usulan semula Rp 49,7 triliun menjadi Rp 44,73
triliun. Pemotongan ini berkonsekuensi dipangkasnya pos-pos anggaran program strategis, salah satunya
bisa saja dana bantuan operasional sekolah atau BOS.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam Acara Dialog dan Silaturahmi Insan Pendidikan di
Balai Pelatihan Guru, Bandung, Sabtu (5/4), mengatakan, pemangkasan anggaran dari program BOS
dan tunjangan khusus guru merupakan cara termudah untuk menyesuaikan instruksi pemotongan itu.
”Jumlah potongannya Rp 4,9 triliun. Sekarang saya juga lagi pusing. Kalau mau gampang, ya dipotong
dari dana BOS. Porsi anggaran terbesar Depdiknas adalah untuk program BOS, yaitu Rp 11 triliun.
Sementara itu, tunjangan guru Rp 4 triliun,” tuturnya.
Namun, saat dimintai penegasan, Bambang mengatakan, pihaknya mengupayakan dana BOS dan
tunjangan guru tidak masuk dalam target pemotongan itu. ”Anggaran yang digunakan untuk kepentingan
masyarakat banyak saya usahakan tidak kena,” tuturnya di sela-sela acara. Sebagai gantinya,
pemangkasan akan dilakukan pada sektor-sektor yang tidak terlalu vital, seperti pendidikan dan pelatihan
SDM, serta seminar atau diskusi.
Namun, ia tidak menjawab apakah pemotongan sektor-sektor ini cukup menutup target penghematan
sebesar Rp 4,9 triliun. ”Rinciannya masih dibahas dengan Komisi X. Nanti sajalah kepastiannya,”
ucapnya kemudian. Dengan pemotongan sebesar 10 persen ini, besaran anggaran pendidikan di tahun
2008 tidaklah jauh berbeda dari tahun lalu, yaitu Rp 44,1 triliun.
Pemotongan ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang menginginkan penghematan
anggaran di seluruh departemen dan lembaga negara menyusul perubahan asumsi harga minyak
mentah dunia. Namun, tidak seperti tertulis di dalam Surat Menteri Keuangan No. S-1/Mk.02/2008 pada
Januari 2008 yang menginstruksikan penghematan sebesar 15 persen, perkembangan terbaru,
pemotongan itu sebesar 10 persen flat.
”Semua departemen dipotong 10 persen. Sebelumnya, saya telah mengupayakan agar pemotongan
(anggaran pendidikan) hanya 4 persen. Perjuangan di tingkat kabinet telah berhasil dan diputuskan.
Tetapi, ketika diusulkan ke DPR, itu tidak disetujui panitia anggaran,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi X DPR Ade Firdaus mengatakan sebaliknya,
pemotongan anggaran pendidikan itu bukan semata-mata keinginan DPR. (JON)




Menindaklanjuti surat Menteri Keuangan Nomor S-01/MK.02/2008 tanggal 2 Januari 2008 perihal Langkah-Langkah Dasar Penghematan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tahun 2008 maka Menkeu dengan suratnya No. S-42/MK.02/2008 tanggal 31 Januari 2008 menginformasikan bahwa pagu dana pinjaman luar negeri yang semula tidak dapat dilakukan penghematan (15 %) maka dengan adanya surat ini bahwa penghematan tersebut dapat dibebankan pada pinjaman luar negeri dengan batasan maksimum 30 % dari pagu pinjaman luar negeri tersebut.


Prakarsa Rakyat,

Oleh Moh Yamin

Surat edaran dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indarwati untuk menghemat 15 persen di berbagai departemen, termasuk anggaran pendidikan, yang tertuang dalam SE No. S-1/MK.02/2008 cukup menghentakkan publik pendidikan. Dunia pendidikan kita akan disakiti lagi oleh pemerintah. Sehingga anggaran pendidikan yang kini berjumlah Rp 49,7 triliun di APBN 2008 ini terancam terpotong 15 persen (Jawa Pos, 21 Februari 2008). Ini sebuah pukulan pelak bagi nasib pendidikan ke depan. Anggaran pendidikan pun menyusut dan kurus kerempeng. Sehingga ini akan menyulitkan pendidikan mengalami kemajuan. Kemandekan pembangunan bangunan sekolah, infrastruktur pendidikan, dan lain seterusnya akan terjadi. Sekolah rusak akan semakin merajalela di bumi Nusantara Indonesia. Anak miskin putus sekolah pun tidak akan bisa melanjutkan pendidikan karena sudah tidak mendapatkan biaya gratis pendidikan dari pemerintah. Impian agar anak-anak terlantar yang setiap hari bergelimang dengan dunia jalanan pun tidak akan bisa disekolahkan baik secara formal maupun tidak. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pun akan disedikitkan jumlah dananya dari negara. Celakanya lagi, biaya pendidikan pun akan semakin mahal sebab subsidi anggaran pendidikan kepada sekolah pun akan dikurangi.
Sekolah pun akan mencari jalan lain untuk menghidupi sekolahnya, sebut saja dengan menarik iuran pendidikan pada orang tua murid dan segala bentuk penarikan lainnya. Sementara orang tua murid akan pontang-panting bekerja mencari uang untuk tetap menyekolahkan putra-putrinya. Pendidikan tinggi pun juga demikian. Banyak Perguruan Tinggi (PT) pun baik negeri maupun swasta akan menaikkan tarif biaya pendidikannya, sebut saja uang gedung, dan lain sejenisnya karena dana subsidi dari pemerintah sudah dirampingkan. Ini sesungguhnya persoalan krusial ketika anggaran pendidikan harus dipangkas demi penghematan keuangan negara. Dimanakah keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan? Padahal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Presiden Republik Indonesia berandai-andai akan menjadikan bangsa ini cerdas sesuai dengan Millenium Development Goals (MDGs). Memprioritaskan pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Benarkah Menteri Keuangan tidak mengerti impian Presiden selaku tuannya? Ataukah Menteri Keuangan jarang berkoordinasi dengan Presiden sehingga ia kemudian mengeluarkan surat edaran No. S-1/MK.02/2008 tersebut? Betulkah solusi yang ditawarkan pemerintah ini? Saya berpendapat, tawaran penyelesaian ini terlalu menyederhanakan persoalan.
Sebetulnya, pemerintah harus cerdas dan jeli dalam mengambil sebuah kebijakan politik tertentu. Melakukan pendataan cukup mendalam terhadap pelbagai hal di setiap departemen adalah jalan paling tepat untuk dilakukan. Mencari departemen paling urgen untuk tetap diberikan pos anggaran besar dan lebih besar ketimbang departemen lain adalah sebuah pertimbangan politik cukup brilian. Jangan melakukan pukul rata pada semua pos anggaran di semua departemen. Ini merupakan satu tindakan politik tidak proporsional. Proporsionalitas dalam menganggarkan keuangan di setiap departemen harus dijalankan dengan sangat baik, tepat dan cepat. Jangan karena negara defisit anggaran, pemerintah pun dengan sangat entengnya melakukan pemotongan dan penghematan anggaran secara membabi buta. Ini adalah satu keputusan politik terlalu gegabah dan menimbulkan efek sosial sangat tinggi. Ongkos sosialnya pun sangat mahal sebab akan merugikan bangsa yang berkeinginan luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Akhirnya, segala proses pendidikan pun akan berada dalam kegamangan. Harapan dan impian pun sama-sama tidak jelas. Harapan pendidikan adalah agar rakyat cerdas, itu hanya sebuah isapan jempol belaka. Impian pemerintah adalah supaya semua anak negeri bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan pun hanya sebuah jargon politik semata sebab telah digagalkan oleh seorang pejabat tertentu. Realitasnya adalah kemiskinan pendidikan merambah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Karena sesama elite negeri ini berada dalam misi kepentingan politik masing-masing untuk mengendalikan negara, bangsa dan pemerintahan ini. Tidak ada ruang perjuangan kerakyatan lagi dalam jantung mereka. Yang mereka perjuangkan adalah memasukkan dan coba memenangkan sekuat mungkin kepentingan politiknya. Politik kekuasaan di bangsa ini sangat kuat. Politik pendidikan kekuasaan untuk membodohkan bangsa lebih besar volumenya ketimbang politik pendidikan kerakyatan dan memberdayakan rakyat. Ini sebuah potret bangsa yang hidup dalam hukum rimba. Siapa yang kuat dengan kepemilikan kekuasaannya di jaring kekuasaan elite akan menjadi pemenang, sementara mereka yang berada di arus paling bawah akan menjadi tumbal kepentingan politik yang kuat. Politik untuk menjatuhkan, mengalahkan dan tidak memedulikan kepentingan bangsa lebih besar sudah sangat kuat terbentuk dalam sikap, pikiran dan tindakan elite negeri ini.
Akibat surat edaran No. S-1/ MK.02/2008 dari Menteri Keuangan, tunggu saja kemerosotan masa depan pendidikan kita. Sehingga yang miskin dan papa akan semakin jauh dari akses pendidikan. Mereka pun akan semakin bodoh. Sementara yang berduit akan semakin dekat untuk mengonsumsi pendidikan. Mereka pun akan kian pintar. Padahal bila berbicara kuantitas rakyat kita, apakah berada dalam status kaya atau miskin, maka mayoritas rakyat di ibu pertiwi ini menempati ruang "tidak mampu secara ekonomi". Ini adalah sebuah realitas tak terbantahkan. Ada disparitas sangat lebar di antara mereka. Sehingga pendidikan negeri ini pun ibarat barang yang diperjual-belikan dengan harga sangat mahal. Tidak punya uang, jangan harap bisa menikmati pendidikan. Secara telanjang bulat, surat edaran ini adalah bentuk ketidak pedulian pemerintah terhadap pendidikan serta nasib pendidikan anak negeri. Surat edaran ini pun bertolak belakang dengan UUD '45 yang memberi amanat dan mandat kepada pemerintah untuk memberikan 20 persen anggaran pendidikan di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Konstitusi tertinggi di negeri ini bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, namun pelaku konstitusinya berbicara dan bertindak biner. Ini sungguh sebuah kebijakan politik pemerintah yang tidak Pro-rakyat dan tidak mendukung terciptanya masyarakat yang melek pendidikan.

Penulis adalah Pendidik, Aktivis Freedom Institute for Social Reform & Peneliti pada Lakpesdam NU Kota Malang

ENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH KETERPURUKAN PENDIDIKAN NASIONAL Oleh: Ihsan Sa’id**

PENDIDIKAN ISLAM
DI TENGAH KETERPURUKAN PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh: Ihsan Sa’id**

A. Pendahuluan
Sebelum menemukan paradigma baru untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan Islam, sekiranya perlu menengok kembali bagaimana kondisi pendidikan nasional selama ini. Hal ini dilakukan untuk dapat mengetahui apa dan bagaimana permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan nasional. Untuk itu dapat diketahui langkah apa yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut penyelesaian masalah tersebut. Fakta berbicara, pendidikan nasional berada di ujung tanduk – tidak tentu arah dan nasibnya. Semua kondisi menggambarkan betapa muramnya wajah pendidikan nasional. Dimulai dari minimnya kualitas pembelajaran, rendahnya profesionalisme guru, minat belajar siswa yang cenderung menurun, terbatasnya sarana dan prasarana dan kurikulum yang tidak menentu yang secara representatif tidak memenuhi kebutuhan siswa. Tentu implikasi logis yang harus diterima adalah rendahnya kualitas output yang dihasilkan. Tilaar (2004:66) menggambarkan bahwa;

Pendidikan nasional terseok-seok dilanda krisis. Mungkin krisis itu sendiri disebabkan kualitas output pendidikan nasional itu sendiri. Krisis yang menimpa pendidikan nasional bukan hanya semata-mata karena krisis dana, tetapi mungkin pula karena kekaburan arah dan kehilangan kemudi. Pendidikan nasional seperti film Mutiny on The Bounty saja. Kapal Indonesia bisa karam apabila sumber daya manusianya berseteru dan berkelahi satu dengan yang lain. Oleh karena itu, pembenahan pendidikan nasional merupakan syarat mutlak untuk membenahi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang ditimpa krisis yang berkepanjangan.

Yang tidak kalah menarik juga, pendidikan nasional selalu dihebohkan dengan tersedianya dana yang minim untuk membenahi pendidikan nasional. Sebenarnya masalah bukan hanya sekedar dana yang kecil, tetapi pemerintah mulai kehilangan komitmen dalam bagaimana mengembangkan pendidikan nasional untuk membangun kembali bangsa Indonesia dan untuk mewujudkan cita-cita reformasi yaitu membangun masyarakat baru yang demokratis dan sejahtera. Sebagaimana pendapat Surakhmad (2003:37) dalam Majalah Fasilitator menjelaskan bahwa pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan selalu tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat dan selalu tidak konsisten dalam pengembangan pendidikan. Akibatnya kualitas pendidikan nasional sangat minim.
Melihat realita tersebut, patut dipertanyakan di mana letak relevansi janji manis pemerintah seperti saat kampanye calon atau tujuan pembagunan nasional yaitu membangun rakyat Indonesia secara keseluruhan dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan realita pendidikan yang ada, semuanya omong kosong. Pendidikan nasional yang sedang terpuruk sangat membutuhkan paradigma baru – paradigma pencerahan – yang dapat mendukung terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, sebagaimana idealnya. Dengan kata lain, perlu dilakukan rekonstruksi paradigma baru yang dapat menjamin lahirnya era baru dalam pendikan nasional. Hal ini dilakukan untuk mereposisi pendidikan sebagaimana mestinya yang nota bene sebagai ikon utama dalam pembentukan manusia Indonesia secara keseluruhan.
Paradigma pendidikan nasional haruslah sesuai dengan cita-cita reformasi yaitu membangun masyarakat Indonesia yang baru, termasuk umat Islam di dalamnya. Sebagaimana Tilaar (2004:76) bahwa “Paradigma baru pendidikan nasional tentunya diarahkan dalam rangka koridor reformasi menuju masyarakat Indonesia baru tersebut. Kisi-kisi koridor reformasi yaitu demokrasi, menghormati nilai-nilai manusia atau HAM, dan otonomi daerah yang ditujukan kepada tanggung jawab masyarakat di dalam kehidupannya dalam masyarakat yang terbuka”.
Pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional dengan sendirinya memerlukan paradigma baru. Dalam hal ini, paradigma yang dibutuhkan adalah paradigma yang mampu melahirkan manusia yang beriman dan berpengetahuan dengan senantiasa memodifikasikan diri agar sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Dari realita dalam wacana di atas, penulis tertarik mengangkat realita dan permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan Islam dan langkah-langkah konstruktif yang harus dilakukan untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi pendidikan Islam di tengah krisis pendidikan nasional. Semoga dengan makalah ini sedikit mampu memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan pendidikan nasional di negara ini. Untuk lebih jelasnya akan dideskripsikan pada pembahasan berikut ini.
Akan tetapi, berbicara tentang permasalahan pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan Islam di dalamnya sungguh kompleks sekali, tidak ubahnya seperti menyelesaikan benang kusut, harus hati-hati dan juga dipertanyakan dari mana dimulai. Mungkin tulisan singkat ini hanya dapat merangkum sebagaian kecil saja dari permasalahan yang muncul di permukaan yang dapat dilihat secara nyata dalam keseharian kita.

B. Pendidikan Islam di Indonesia dalam Realita
Barangkali dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan penolong utama bagi manusia untuk menjalani kehidupan ini. Tanpa pendidikan, maka manusia sekarang tidak akan berbeda dengan keadaan pendahulunya pada masa purbakala. Asumsi ini melahirkan suatu teori ekstrim, bahwa maju mundur atau baik buruknya suatu bangsa akan ditentukan oleh keadaan pendidikan yang dijalani bangsa itu.
Memang sangat rasional apabila pendidikan menjadi indikator maju mundurnya sebuah bangsa. Indonesia yang saat ini sedang mengalami keterpurukan dalam segala aspek kehidupan merupakan imbas dari kegagalan pelaksanaan pendidikan, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Kegagalan pendidikan di Indonesia telah berakibat pada kemerosotan moral bangsa yang ditandai dengan munculnya tindakan kriminal di mana-mana. KKN meraja lela di semua instansi, pembantaian, pembunuhan, tawuran antar pelajar bahkan antar kampung dan konplik antar golongan kerapkali mewarnai sejarah bangsa ini.
Yunus (2000:26-27) dalam tulisannya yang berjudul Pluralitas Agama dan Kekerasan Kolektif (Perspektif Sosiologi Agama) dalam majalah El Harakah menjelaskan bahwa keterpurukan negara ini telah menjadi topik yang begitu hangat di bicarakan di seluruh dunia. Bahkan nama baik negara ini telah tercoreng di mata luar negeri dalam segala aspek. Oleh mereka dipertanyakan relevansi keber-agamaan bangsa ini dengan prilakunya.
Dengan demikian, tanggung jawab pendidikan untuk membangun kembali bangsa yang telah lama rusak, semakin berat dan membutuhkan waktu yang lama dan usaha yang ekstra maksimal. Jadi, berdasarkan asumsi di atas bahwa baik buruknya negara ini di masa yang akan datang tergantung pada pendidikan yang diselengarakan oleh negara ini.
Untuk menyikapi permasalahan tersebut, sebagian tanggung jawab menurut asumsi di atas, terletak di pundak lembaga pendidikan Islam yang sekaligus sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Secara ideal, pendidikan Islam akan berusaha mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara menyeluruh. Dengan kata lain, manusia yang berkualitas unggul baik lahiriah maupun batiniah serta berbobot dalam prilaku, sehingga survive dalam arus dinamika perubahan sosial budaya pada masa hidupnya (Arifin, 2003:204).
Betapa besar tanggung jawab pendidikan Islam, di samping mencetak manusia yang mempunyai ketajaman intelektual tetapi juga harus melahirkan manusia yang mempunyai kedalaman spiritual dan keluhuran budi pekerti. Tetapi, sungguh disayangkan dalam pembangunan aspek moral, hanya dalam porsi yang kecil saja menjadi tanggung jawab pendidikan Islam.
Memang terasa janggal, dalam suatu komunitas masyarakat Muslim, pendidikan Islam tidak diberikan kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Perhatian pemerintah yang dicurahkan pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran masyarakat sosialistis religius. Dan bahkan tidaklah salah jika dikatakan, bahwa pendidikan Islam di Indonesia justru menempati kelas dua dalam masyarakat yang mayoritas Muslim.
Beberapa bukti tentang kecilnya perhatian pemerintah dalam pengembangan pendidikan Islam terlihat dari minimnya anggaran untuk lembaga-lembaga pendidikan Islam dan lembaga pendidikan Islam tidak diberikan kewenangan secara otonom oleh pemerintah dalam berpastisipasi membangun bangsa yang besar ini. Seperti dalam berita Republika (8 September 2001) yang dikutip oleh Daulay (2004:58-60) bahwa anggaran pendidikan untuk lembaga-lembaga pendidikan Islam sangat minim sehingga lembaga-lembaga tersebut tidak mampu melaksanakan pembelajaran secara maksimal lantaran minimnya sarana prasarana, kualitas guru, dan sistem kurikulum yang tidak jelas karena tidak diberikan kewenangan secara otonom oleh pemerintah. Seperti pada RAPBN 2002 anggaran pendidikan yang diajukan hanya Rp. 11.552 triliun, sekitar 24,5% dari anggran pembangunan Rp. 47.147 triliun. Dari anggaran tersebut pembagian dana pendidikan untuk lembaga pendidikan Islam dengan sekolah umum tidak proporsional. Sekolah umum selalu diunggulkan.
Tidak jauh berbeda seperti yang diungkapkan oleh Nata (2003:20) bahwa selama masa Orde Baru anggaran untuk pendidikan tidak pernah mencapai apalagi lebih dari 10% dari anggaran APBN yang telah ditetapkan. Padahal sejatinya pendidikanlah yang harus menjadi prioritas utama jika Indonesia ingin keluar dari keterpurukan yang berkepanjangan ini. Pemerintah justru tertarik membangun sektor-sektor riil yang lebih menguntungkan secara finansial.
Selain minimmya dana yang dikucurkan pemerintah untuk anggaran pendidikan nasional, menurut Daulay (2004:156) bahwa secara struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam berada di bawah kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pendanaannya. Problema yang timbul adalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama selain kecil juga dipergunakan untuk membiayai berbagai sektor di lingkungan Departemen Agama termasuk pembiayan pendidikan. Akibatnya alokasi pendanaan bagi lembaga pendidikan yang berada di bawah Departemen Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatasnya upaya-upaya pengembangan dan peningkatan kegiatan-kegiatan nonfisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada biaya per siswa atau mahasiswa.
Lebih lanjut, Daulay (2004:156) menambahkan bahwa secara struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam akan dihadapkan pula dengan persoalan diberlakukannya UU. No. 22 Tahun 1999 yakni tentang Otonomi Daerah. Dalam hal ini, dari segi kebijakan pendidikan termasuk salah satu dari bagian yang pengelolaannya diserahkan ke daerah, sedangkan masalah tetap berada pengelolaannya di pusat.
Kesimpulan awal yang dapat kita berikan terhadap kinerja dan kebijaksanaan yang selalu tidak representatif dengan selera konsumen (not costumer satisfaction oriented), karena pemerintah mempunyai perhatian yang begitu besar dan hanya ingin memajukan pengetahuan atau pendidikan umum. Padahal baik buruknya kualitas moral atau kpribadian sebuah bangsa tergantung pada kualitas pendidikan keagamaannya. Hal itu tidak pernah dipikirkan oleh pemerintah. Implikasi menyedihkan yang telah dan sedang diterima pemerintah saat ini adalah pemerintah sedang disibukkan oleh pekerjaan baru, yaitu memperbaiki moral aparat-aparat negara dan masyarakat yang cenderung bejat dan keluar dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Siapakah yang patut dipersalahkan. Tentu kenyataan tersebut merupakan akibat dari rendahnya kuliatas pendidikan Islam kita.
Muhaimin (2005:17-1) juga menggambarkan bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami keprihatinan yang bertubi-tubi. Hasil survei menunjukkan bahwa negeri kita masih bertengger dalam jajaran negara yang terkorup di dunia, KKN melanda di berbagai institusi, disiplin semakin longgar, kriminalitas meraja lela, hilangnya nilai-nilai kemaunisiaan, krisis moral dan sebagainya. Padahal secara kuantitas Indonesia merupakan negara yang mayoritas Muslim. Kondisi-kondisi yang menyedihkan tersebut merupakan akibat gagalnya pelaksanaan pendidikan agama secara maksimal.
Di samping kenyataan di atas, menurut Soebahar (2002:149-150) dan Usa (1991:3) dalam tulisannya yang berjudul Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta Suatu Pengantar dalam buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta bahwa pendidikan Islam dalam pendidikan nasional selalu menunjukkan kemunduran karena kurikulum pendidikan Islam seringkali tidak jelas arahnya. Pendidikan Islam semakin dipersempit baik di madrasah maupu0n sekolah umum. Prosentase pengetahuan umum dan pendidikan Islam di madrasah 70%:30%. Sementara di sekolah umum pendidikan Islam hanya dilaksanakan satu kali dalam seminggu dengan batas waktu 2X45 menit. Tentu hal tersebut adalah sebuah ketimpangan yang sangat mencolok. Padahal menurut Muhaimin (2005:11) bahwa kurikulum adalah way of life-nya penyelenggaraan pendidikan. Begitu pentingnya kurikulum bagi pelaksanaan pendidikan sudah tentu membutuhkan kurikulum yang berkualitas yang jelas arah dan tujuannya.
Kenyataan di atas, disebabkan oleh berbagai kelemahan-kelemahan yang melanda pendidikan Islam. Kesempatan untuk memperoleh legitimasi yang lebih luas dan perbaikan secara mendasar, hampir tidak pernah diperolehnya. Ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam upaya mempertahankan eksistensinya, karena jika posisinya hanya mampu bertahan, maka berarti sebuah kemunduran, karena era kemajuan telah terpacu dengan hebat sesuai dengan arus perubahan sosial budaya dan pendidikan Islam sendiri selalu ketinggalan zaman. Kondisi ini menjadikan pendidikan Islam sebagai sebuah lembaga yang tidak adaptif atau bahkan konservatif.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu dahsyat dewasa ini, pendidikan Islam semakin dipertanyakan relevansinya, terutama jika dikaitkan dengan kontribusinya bagi pembentukan budaya modern yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks ini, pendidikan Islam mengalami degradasi fungsional, karena pendidikan di negara ini semakin berorientasi materialistik. Pendidikan cenderung ditetapkan sebagai aset sosial yang memiliki fungsi khusus dalam menyiapkan tenaga kerja yang akan memenuhi tuntutan dunia kerja yang bercorak industrialistis. Akurasi suatu program pendidikan dilihat dari seberapa jauh output pendidikan tersebut dapat berpartisipasi aktif dalam mengisi lapangan kerja yang disediakan oleh dunia industri.
Dengan kekurangan-kekuarangan yang dihadapi oleh pendidikan Islam seperti tergambar di atas, Ma’arif, dkk. (1991:12) berpendapat bahwa;
Pendidikan tidak akan bisa mengejar ketertinggalannya dengan lompatan-lompatan yang berarti sesuai arus perubahan, apalagi dalam memenuhi selera konsumen. Jika kita lihat adanya penambahan lembaga pendidikan Islam secara kuantitas, maka hal itu bukan berarti adanya kemajuan, tetapi karena semakin besarnya anak didik yang tidak tertampung pada lembaga pendidikan umum.

Sejalan dengan fakta di atas, fakta klasik yang cukup memprihatinkan yang juga selalu muncul di tengah masyarakat bahwa lembaga pendidikan Islam selalu menjadi pelarian bagi siswa-siswa yang tidak tertampung di sekolah umum. Tidak apabila pendidikan Islam atau lembaga pendidikan Islam dikatakan bukanlah sebuah kebutuhan. Dengan kata lain, lembaga pendidikan Islam hanya sebagai pelengkap, bukan sebagai mind actor yang merupakan subsistem yang integral dalam pendidikan nasional.
Seperti yang dipaparkan Daulay (2004:156) bahwa pendidikan Islam menjadi lembaga pendidikan kelas dua, sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat Muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar lembaga pendidikan Islam secara kualitas akademik dan proses pendidikan tidak menjanjikan. Kekuarangan dana dan tenaga pendidik yang berkualitas merupakan masalah utama yang menjadi penyebabnya.
Di samping masalah-masalah di atas terdapat dua permasalahn yang sangat krusial yang turut mempengaruhi kemunduran pendidikan Islam, yaitu sistem pendidikan nasional yang bercorak sentralistik dan adanya pemahaman dikotonomi ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama di tengah masyarakat sehingga lahir dua sistem pendidikan yaitu pendidikan dan pendidikan umum.
Menurut Tilaar (2004:6) bahwa sistem pendidikan nasional selama ini bercorak sentralistik, di mana manajemen pendidikan berasal dari struktur kekuasaan dari Pemerintah Pusat dan menjalar ke lembaga-lembaga pendidikan. Dengan sendirinya lembaga-lembaga pendidikan tersebut tidak mempunyai otonomi karena segala sesuatu telah ditentukan oleh suatu sistem yang ketat dari atas.
Dengan pola sentralistis yang demikian, lembaga-lembaga pendidikan tidak mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri, sebab segala sesuatu telah ditentukan prosedurnya. Masyarakat tidak mempunyai hak di dalam menentukan arah dan jalannya proses pendidikan itu sendiri. Masyarakat hanya menjadi penonton dan tidak mempunyai tanggung jawab di dalam terjadinya proses pendidikan. Output pendidikan bukan saja menjadi masalah bahkan menjadi beban masyarakat. Pendidikan Islam sejak lahirnya yang tumbuh dari masyarakat, tumbuh dari bawah, oleh sebab itu, mengenal manajemen yang tumbuh dari bawah.

C. Problem Solving; Upaya Mendinamisasikan Pendidikan Islam
Uraian di atas walaupun belum rinci, sudah dapat menyajikan suatu telaah umum yang sangat dini tentang realitas pendidikan Islam dalam era transformasi sosial budaya yang dewasa ini berkembang pesat di Indonesia. Dalam proses transformasi sosial budaya ini, ternyata berbagai pranatanya juga terpengaruh, karena harus melakukan adaptasi besar-besaran – bukan sekedar modifikasi – namun dalam banyak hal harus direkonstruksi atau reorientasi. Pranata pendidikan Islam yang secara kebetulan belum merupakan pranata canggih di saat masuknya pola budaya baru, yang memerlukan dukungan dari lembaga pendidikan, maka di saat itu pula dapat diketahui bahwa dukungan yang diharapkan itu tidak mungkin, karena lembaga ini masih bergelut dengan persoalan-persoalan interennya yang sebetulnya sudah klasik. Di samping itu memang harus diakui bahwa lembaga pendidikan Islam belum mempunyai kesiapan untuk mengadakan dialog dengan dunia yang ada di luar dirinya, karena institusi pendidikan ini belum mampu menuntaskan mekanisme institusionalnya untuk menyangga modernisme di segala segi kehidupan. Sebagaimana pendapat Karim dalam Rais bahwa “Kehadiran lembaga pendidikan dalam era modern Indonesia, cenderung berjalan apa adanya, termasuk IAIN”.
Lembaga pendidikan Islam seperti IAIN tampaknya juga masih jauh dari harapan untuk tampil meyakinkan dalam bersaing dengan lembaga-lembaga lain pada umumnya, misal yang ada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan Nasional baik dari segi fisik, maupun dari segi konsepsionalnya.
Jadi, telah terjadi diskrepansi (ketidaksesuaian) di dalam dunia pendidikan nasional. Ketidaksesuaian antara tujuan dan kenyataan yang terjadi. Ambisi yang besar dari bangsa besar dengan kemauan dan kemampuan yang kecil. Tentu hal tersebut adalah paradoksi yang memprihatinkan. Dalam buku Undang-Undang RI N0. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003 tercantum keputusan Presiden RI bahwa;
…sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan (Tim redaksi Fokusmedia, 2003:1-2).

Dalam keputusan tersebut tersirat sebuah cita-cita besar dari negara ini, yaitu membangun pendidikan yang adaptif dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Ketimpangan besar yang terjadi ketika cita-cita besar tersebut tidak pernah dimanifestasikan dalam usaha-usaha yang sungguh-sungguh oleh pemerintah. Pendidikan nasional yang didalihkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun bangsa Indonesia secara keseluruhan tidak pernah (tidak mau) dilakukan secara maksimal dengan terobosan-terobosan yang berarti. Alhasil, pendidikan nasional (termasuk pendidikan Islam di dalamnya) telah terjerembab pada keterpurukan yang berkepanjangan.
Dengan berpijak pada kenyataan tersebut, pendidikan Islam merupakan korban dari kecelakan sejarah dalam dinamika pendidikan nasional. Pendidikan Islam hanya mampu bertahan tanpa ada perkembangan yang signifikan. Dalam realitanya, pendidikan Islam telah menjadi korban dari kebijakan yang pincang – diskriminatif – dari pemerintah.
Untuk menaggulangi permasalahan-permasalahan yang muncul dibutuhkan ide-ide kreatif untuk membangun kembali pendidikan Islam guna mereposisi eksistensi dan peranannya di tengah bangsa yang besar ini. Ada beberapa terobosan kreatif yang dapat digalakkan dalam membangun kembali pendidikan Islam sesuai dengan cita-cita reformasi yang sering diteriakkan oleh elit-elit politik negara ini, yaitu membangun Indonesia Baru dalam lingkaran demokrasi dan Pancasila. Adapun terobosan-terobosan tersebut di antaranya;
1. Desentralisasi pengelolaan pendidikan nasional
Desentralisasi pendidikan adalah ide utama apabila pendidikan dikaitkan dengan otonomi daerah. Di dalamnya ada otonomi pendidikan, di mana daerah berhak menentukan arah pendidikannya sesuai dengan kebutuhan daerah, namun tetap berkoordinasi dengan pemerintah pusat secara proporsional. Dengan kata lain, pemerintah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dalam peraturan yang berkeadilan serta perimbangan antara keuangan pusat dan daerah. Dengan demikian, bangsa Indonesia mampu membangun pendidikannya dengan kebhinekaan yang dimiliki.
Selama ini pendidikan nasional dengan segala kebijakan yang ada di dalamnya dikenal sangat sentralistik, birokratis dan mengalami kematian inovasi. Pendidikan dijadikan sebagai salah satu alat oleh pemerintah dalam melanggengkan kekuasaan dan menggiring rakyat kepada tujuan politik yang diinginkan. Akibatnya, tidak akan lahir suatu masyarakat yang terbuka yang demokratis atau terwujudnya masyarakat yang madani, di mana setiap manusia mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensinya dan menyumbangkannya untuk sebesar-sebesarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga, masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat yang miskin partipasi, disartikulatif dan involutif. Dalam artian, bahwa masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang tidak mampu mengekspresikan ide, harapan, aspirasi dalam membangun negara ini.
Sejalan dengan pandangan di atas, Tilaar (2002:6) mengatakan bahwa;

“…telah menjadi kebenaran umum di tengah masyarakat Indonesia bahwa betapa sistem pendidikan nasional kita terlalu disentralisasikan. Di dalamnya dikenal satu jenis kurikulum meskipun embel-embel adanya muatan lokal. Dan juga, dikenal satu jenis ujian negara yang didalihkan untuk mencapai kualitas. Namun demikian, praktik kebijakan sentralisasi telah mematikan berbagai jenis inovasi pendidikan dan menghasilkan manusia Indonesia yang mandul inisiatif. Akibatnya ialah sistem pendidikan nasional yang melahirkan generasi muda Indonesia yang mempunyai watak pegawai negeri yang tidak berinisiatif dan hanya bergerak karena petunjuk dari atasan.

Terkait dengan hal tersebut, pendidikan Islam yang merupakan subsistem dari pendidikan nasional menunutut adanya desentaralisi dalam pengelolaan pendidikan, supaya lembaga pendidikan Islam mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya dalam menjawab perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial dan budaya yang begitu pesat.
Pendidikan Islam sekalipun berada di bawah koordinasi Departemen Agama, namun secara struktural Departemen Agama bukan lembaga yang otonom. Untuk itu, bila perlu lembaga pendidikan Islam berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan Nasional, karena di Departemen Pendidikan Nasional masalah pendidikan sudah di otonomkan. Selain itu juga, apabila lembaga pendidikan Islam berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan Nasional maka akan memperoleh fasilitas dan perhatian yang sama seperti yang diberlakukan terhadap sekolah umum. Daulay (2004:61) berpendapat apabila lembaga pendidikan Islam selalu berada di bawah naungan Departemen Agama dikhawatirkan pendidikan Islam akan selalu tertinggal, karena Depatemen Agama bukanlah lembaga yang otonom, termasuk di dalamnya pendidikan agama.
2. Menerapkan manajemen pendidikan Islam dengan pola simbiotik (pendidikan yang tumbuh dari bawah)
Manajemen pendidikan dalam pola simbiotik diakui adanya berbagai jenis lembaga pendidikan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini berarti pendidikan yang diselenggarakan oleh negara, yang diselenggarakan oleh masyarakat sendiri (pendidikan swasta) termasuk pendidikan Islam di dalam bentuk pesantren, madrasah dan pendidikan tinggi Islam mempunyai hak hidup dan bereksplorasi untuk kemajuan pendidikannya. Menurut Tilaar (2002:82-83) bahwa;
Manajemen pendidikan dalam pola simbiotik mensyaratkan dua hal yaitu masyarakat harus memiliki pendidikannya. Apabila pendidikan itu asing dari masyarakat sebagai stake holder dari pendidikan, maka tidak mungkin dapat dikembangkan suatu pola simbiotik antar lembaga-lembaga pendidikan di dalam masyarakat. Inilah inti dari konsep pendidikan berbasis masyarakat (community-based education). Selanjutnya, dengan adanya beragam jenis lembaga pendidikan yang ada di dalam masyarakat, maka perlu adanya otonomi lembaga-lembaga pendidikan itu. Inilah yang dikenal dengan sebutan school-based management. Tanpa adanya otonomi pendidikan, maka akan berlaku pola tunggal karena dia hidup dan dimiliki oleh masyarakat di mana pendidikan itu berada.

Jadi, manajemen pendidikan dalam pola simbiotik merupakan manajemen pendidikan yang tumbuh dari bawah. Dalam artian, masyarakat mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam membangun pendidikannya. Untuk itu, kerja sama yang sinergis antara lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat sangat dibutuhkan. Hal ini supaya masyarakat merasa memiliki dan terpanggil untuk membangun pendidikannya.
Lebih lanjut, menurut Tilaar (2002:83) bahwa manajemen pendidikan dalam pola simbiotik dalam implementasinya, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berada di daerah seperti madrasah (negeri maupun swasta) merupakan lembaga yang otonom, namun sinergis. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga tersebut dapat dikembangkan menjadi lembaga yang efisien dan dapat mempergunakan berbagai sumber-sumber pendidikan di daerahnya. Masyarakat daerah memegang peranan aktif dalam mengelola pendidikan dan sebagai mitra Pemerintah Daerah dalam membantu serta mengawasi pelakasanaan pendidikan di daerah.
Selanjutnya, dalam kemitraan pengelolaan ini Pemerintah Daerah berfungsi memfasilitasi pelaksanaan pendidikan di daerah dan mengatur kerjasama antar lembaga pendidikan di daerahnya. Termasuk di dalam hal ini mengontrol output dari lembaga-lembaga pendidikan di daerahnya dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia. Sedangkan Pemerintah Pusat berfungsi mengatur standar-standar pendidikan nasional. Pemerintah pusat tidak boleh campur tangan atau merecoki otonomi dan manajemen lembaga-lembaga pendidikan di daerah.
3. Mengadakan kerja sama dengan pihak luar negeri dan meminta pinjaman dana pendidikan untuk membangun kembali pendidikan di negara ini (Madjid, dkk., 1999:17)
Seperti dijelaskan di atas bahwa permasalahan yang selalu menghebohkan pendidikan nasional adalah masalah minimnya dana pendidikan. Dalam hal ini, salah satu alternatif untuk menanggulangi permasalahan tersebut adalah mengadakan kerja sama dengan pihak luar negeri dan meminta pinjaman dana pendidikan. Sebenarnya penulis sangat tidak sepakat dengan langkah ini, karena selama ini donatur luar negeri khususya Eropa dan atau negara-negara Barat dalam memberikan bantuan selalu ada tendensi kepentingan. Meski kita tidak boleh berburuk sangka, tetapi hal itu sangat perlu diwaspadai.
Sikap phobia seperti itu sangat masuk akal, karena selama ini hal tersebut memang telah terbukti. Tujuan utama mereka adalah menguasai dan merusak sistem ekonomi negara-negara yang mayoritas Muslim. Seperti yang dikatakan oleh Gray (2004:) bahwa pihak donatur luar negeri seperti IMF dan Bank Dunia selalu mempunyai kepentingan jahat setiap memberikan bantuan kepada negara-negara berkembang, terutama negara-negara yang mayoritas Muslim. Di samping pemikik IMF dan Bank Dunia adalah orang Yahudi dan Nasrani yang nota bene adalah komplotas Amerika Serikat dan ingin menghancurkan umat Islam dan juga ada misi agama di dalamnya.
Untuk itu, kerja sama yang dilakukan oleh negara ini sebaiknya dengan negara-negara yang selama ini dikenal baik di mata dunia seperti Malaysia, Saudi Arabia, Brunai Darussalam, dan negara Islam lainnya. Hal ini sangat mendukung satabilitas ekonomi negara kita, ketimbang mengadakan kerja sama dengan negara Eropa dan atau negara-negara Barat.
Tambahan dana merupakan salah satu solusi yang sangat mendukung terlaksananya pendidikan nasional secara maksimal, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Dana dapat dikatakan sebagai faktor utama penentu keberhasilan pendidikan. Dengan dana yang cukup, fasilitas pendidikan akan tersedia dan tenaga pendidik yang berkualitas mampu direkrut oleh lembaga pendidikan yang kekurangan tenaga pendidik profesional seperti lembaga pendidikan Islam.
4. Lembaga-lembaga pendidikan Islam setidaknya mendirikan dan mengembangkan sentral-sentral ekonomi seperti koperasi, mini market, toko dan lain-lain sebagai salah satu penunjang dana pendidikan.
Menurut Tilaar (2002:80) bahwa “Pendidikan Islam di dalam sejarahnya adalah lembaga yang cenderung untuk berdiri sendiri. Pada masa kolonial, lembaga pendidikan Islam tidak bersedia menerima subsidi atau menggantungkan diri kepada pemerintah. Lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah lembaga-lembaga yang berdiri sendiri”.
Dengan merunut pada pandangan tersebut, dari segi keuangan lembaga pendidikan harus mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pendidikannya. Lembaga pendidikan Islam jangan hanya menunggu kucuran dana dari pemerintah ataupun donatur. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam harus mampu memberdayakan sumber daya yang dimilikinya. Jika tidak lembaga akan sulit berkembang dan mengejar ketertinggalannya. Kemandirian lembaga pendidikan Islam dapat diimplementasikan dengan mendirikan dan mengembangkan sentral-sentral ekonomi.
Apabila setiap lembaga pendidikan Islam mempunyai sentra ekonomi, lembaga-lembaga pendidikan Islam akan mempunyai sumber dana aternatif untuk membiayai kegiatan pendidikan. Seperti yang dilakukan oleh UIN Malang dengan mini market sebagai pusat bisnisnya, Universitas Muhammadiyah Malang dengan hotelnya dan Universitas Brawijaya dengan mini marketnya, merupakan beberapa contoh yang dapat dilakukan sebagai usaha dalam penggalangan dana pendidikan. Di madrasah dapat dibangun kopresai madrasah, toko-toko yang dikelola oleh madrasah.
5. Mensiasati kekurangan jam pengajaran agama dengan merubah orientasi dan fokus pengajaran agama yang semula bersifat subject matter oriented menjadi pengajaran yang berorientasi pada pengalaman belajar dan pembentukan sikap keagamaan melalui pembiasaan hidup dan menambah jam belajar di luar jam sekolah (Nata, 2003:23)
Salah satu penyebab terjadinya degradasi moral umat karena kegagalan pendidikan, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Selama ini pengajaran agama masih pada proses transformasi pengetahuan belaka dengan mengesampingkan pengalaman belajar bagi siswa. Akibatnya terbentuklah generasi yang hanya menghafal materi bukan generasi yang menguasai, memahami dan mengamalkan ajaran agama.

D. Penutup
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung cukup lama. Di dalam perjalanannya itu telah terjadi dinamika. Perubahan-perubahan itu pada dasarnya adalah ilmiah. Perubahana-perubahan ke arah kemajuan pendidikan yang bersumber dari ajaran Islam merupakan trend masa kini. Kendatipun kesadaran umat Islam Indonesia telah tumbuh sejak hampir seratus tahun yang lalu bahwa pendidikan Islam bukanlah semata-mata pendidikan yang mengarah kepada pendidikan ukhrawi saja, namun untuk meralisasaikannya dalam bentuk nyata masih terasa banyak hambatan. Hambatan-hambatan itu bisa disebabkan faktor intern dan bisa juga karena faktor ekstern. Namun, upaya untuk menanggulangi hambatan-hambatan itu belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja.
Berkenaan dengan itu pengkajian-pengkajian pendidikan secara mendalam dan menukik masih sangat dibutuhkan. Dengan pengkajian yang mendalam akan dapat disatukan visi dalam menatap masa depan dan sekaligus dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, baik dari teori maupun praktik. Inilah tanggung jawab generasi muda Muslim untuk membangun kembali negara ini, dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan yang aplicable dan compatible agar tetap survive dalam setiap perubahan konteks ruang dan waktu. ***
Salam perjuangan…!
Ingat! Sebagai mahasiswa Tarbiyah, pendidikan Islam adalah Manhaj al-Fikr yang tidak bisa ditawar lagi…!!!

foto unik 1

Sabtu, 09 Mei 2009

wali songo

SUNAN MURIA




RADEN Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.

Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer.

Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar Roro Pujiwati.

Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa turun langsung melerai pertengkaran itu. ''Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang berhak,'' kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia pun melanjutkan perjalanan.

Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan penduduk setempat.

Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria.

Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.

Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang menyebutnya keturunan Tionghoa.

Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ''tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa''.

Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.

Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa.

Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.

Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya ''moderat'', mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.

Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.

Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara.

Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam masyarakat. Sampai kini, kompleks makam Sunan Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ''Kurang lebih ada sekitar 15.000 penziarah tiap hari,'' tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria.

Mereka berasal dari seluruh pelosok Nusantara. ''Bahkan ada yang datang dari luar negeri, terutama dari negara Islam,'' kata Shohib. Biasanya, kata Shohib, para penziarah ingin mendapat berkah untuk melicinkan usaha, atau mengharap jabatan yang lebih tinggi. Maka tak mengherankan, banyak juga pejabat negara yang datang ke makam Sunan Muria.

Dalam daftar tamu pengurus yayasan yang disodorkan Shohib, terdapat beberapa nama pejabat teras Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, tercatat berziarah ke makam Sunan Muria pada 21 Oktober lalu. Mantan Ketua Dewan Koperasi Indonesia, Prof. Sri Edi Swasono, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto, dan Mantan Kepala Kepolisian RI, Jenderal Roesmanhadi, juga pernah membubuhkan namanya di buku tamu.

Tentu saja tak ketinggalan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang memang rajin bertandang ke makam-makam. Menurut Shohib, Gus Dur berziarah beberapa pekan sebelum lengser dari kursi kepresidenan. ''Hanya saja, ia tak mau mengisi buku tamu,'' kata Shohib. Di kalangan pejabat yang hobi berziarah, kata Shohib, berkembang kepercayaan, jika sudah berkunjung ke makam Sunan Muria, jangan berziarah ke makam Sunan Kudus.

Jarak kedua makam memang tak begitu jauh, sekitar 19 km. ''Itu pantangan. Kalau berkunjung ke makam Sunan Kudus, bisa kehilangan jabatan,'' kata Shohib. Contohnya Menteri Penerangan kabinet Orde Baru, H. Harmoko. ''Setelah tak menjabat, baru Pak Harmoko mengunjungi makam Sunan Kudus,'' kata Shohib.
Diposkan oleh majelistaklimbizikrillah di 18:31 0 komentar
SYEKH MAULANA MALIK IBRAHIM
jpg
Senja hampir bergulir di Desa Gapuro, Gresik, Jawa Timur, menjelang bulan Ramadhan itu. Tak ada angin. Awan seperti berhenti berarak. Batu pualam berukir kaligrafi indah itu terpacak bagaikan saksi sejarah. Itulah nisan makam almarhum Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiul Awal 822 Hijriah, atau 8 April 1419.

Di latar nisan itu tersurat ayat suci Al-Quran: surat Ali Imran 185, Ar-Rahman 26-27, At-Taubah 21-22, dan Ayat Kursi. Ada juga rangkaian kata pujian dalam bahasa Arab bagi Malik Ibrahim: ''Ia guru yang dibanggakan para pejabat, tempat para sultan dan menteri meminta nasihat. Orang yang santun dan murah hati terhadap fakir miskin. Orang yang berbahagia karena mati syahid, tersanjung dalam bidang pemerintahan dan agama.''

Demikian terjemahan bebas inskripsi di nisan pualam makam berbangun lengkung menyerupai kubah itu. Dalam beberapa sumber sejarah tradisional, Syekh Maulana Malik Ibrahim disebut sebagai anggota Wali Songo, tokoh sentral penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Sejarawan G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali.

''Ia seorang mubalig paling awal,'' tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.

Sekalipun Malik Ibrahim tidak termasuk dalam jajaran Wali Songo, masih menurut Hoessein, jelas dia adalah seorang wali. Adapun istilah Wali Songo berasal dari kata ''wali'' dan ''songo''. Kata wali berasal dari bahasa Arab, waliyullah, orang yang dicintai Allah --alias kekasih Tuhan. Kata songo berasal dari bahasa Jawa, yang berarti sembilan.

Ada wali yang termasuk anggota Wali Songo --yang terdiri dari sembilan orang-- dan ada wali yang bukan anggota ''dewan'' Wali Songo. Konsep ''dewan wali'' berjumlah sembilan ini diduga diadopsi dari paham Hindu-Jawa yang berkembang sebelum masuknya Islam. Wali Songo seakan-akan dianalogikan dengan sembilan dewa yang bertahta di sembilan penjuru mata angin.

Dewa Kuwera bertahta di utara, Isana di timur laut. Indra di timur, Agni di tenggara, dan Kama di selatan. Dewa Surya berkedudukan di barat daya, Yama di barat, Bayu, atawa Nayu, di barat laut, dan Siwa di tengah. Para wali diakui sebagai manusia yang dekat dengan Tuhan. Mereka ulama besar yang menyemaikan benih Islam di Jawadwipa.

Figur para wali --sebagaimana dikisahkan dalam babad dan ''kepustakaan'' tutur-- selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Namun, hingga sekarang, belum tercapai ''kesepakatan'' tetang siapa saja gerangan Wali nan Sembilan itu. Terdapat beragam-ragam pendapat, masing-masing dengan alasannya sendiri.

Pada umumnya orang berpendapat, yang terhisab ke dalam Wali Songo adalah: Syekh Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik, Raden Rakhmad alias Sunan Ampel, Raden Paku alias Sunan Giri, Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, Raden Maulana Makdum Ibrahim alias Sunan Bonang, Syarifuddin alias Sunan Drajat, Jafar Sodiq alias Sunan Kudus, Raden Syahid alias Sunan Kalijaga, dan Raden Umar Sayid alias Sunan Muria.

Namun, komposisi Wali nan Sembilan ini juga punya banyak versi. Prof. Soekmono dalam bukunya, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid III, tidak memasukkan Syekh Maulana Malik Ibrahim dalam jajaran Wali Songo. Guru besar sejarah kebudayaan Universitas Indonesia itu justru menempatkan Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang, sebagai anggota Wali Songo.

Sayang, Soekmono tak menyodorkan argumentasi mengapa Maulana Malik Ibrahim tidak termasuk Wali Songo. Ia hanya menyebut Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sangat populer. Siti Jenar dihukum mati oleh Wali Songo, karena dinilai menyebarkan ajaran sesat tentang jubuhing kawulo Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya), yang dapat mengguncang iman orang dan menggoyahkan syariat Islam.

Selain itu, Wali Songo juga ditafsirkan sebagai sebuah lembaga, atau dewan dakwah. Istilah sembilan dirujukkan dengan sembilan fungsi koordinatif dalam lembaga dakwah itu. Teori ini diuraikan dalam buku Kisah Wali Songo; Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid.

Kedua penulis itu merujuk pada kitab Kanz Al-'ulum karya Ibn Bathuthah. Mereka menjelaskan, sebagai lembaga dewan dakwah, Wali Songo paling tidak mengalami lima kali pergantian anggota. Pada periode awal, anggotanya terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad Al-Kubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana Hasanuddin, Aliyuddin, dan Syekh Subakir.

Pada periode kedua, Raden Rakhmad (Sunan Ampel), Sunan Kudus, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), dan Sunan Bonang masuk menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Malik Israil, Ali Akbar, dan Maulana Hasanuddin --yang wafat. Pada periode ketiga, masuk Sunan Giri, menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai, Aceh, dan Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang pulang ke Persia.

Pada periode keempat, Raden Patah dan Fatullah Khan masuk jajaran Wali Songo. Kedua tokoh ini menggantikan Ahmad Jumad Al-Kubra dan Muhammad Al-Magribi yang wafat. Sunan Muria menduduki lembaga Wali Songo dalam periode terakhir. Ia menggantikan Raden Patah, yang naik tahta sebagai Raja Demak Bintoro yang pertama.

Analisis tersebut secara kronologis mengandung banyak kelemahan. Contohnya Sunan Ampel, yang diperkirakan wafat pada 1445. Dalam versi ini disebutkan, seolah-olah Sunan Ampel masih hidup sezaman dengan Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria. Padahal, Sunan Kudus hidup pada 1540-an.

Adapun Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang merupakan guru Sunan Kalijaga, yang berputra Sunan Muria. Bagaimana mungkin Sunan Ampel hidup sezaman dengan Sunan Muria? Lagi pula, tokoh Wali Songo yang disebut dalam buku ini --Aliyuddin, Ali Akbar, dan Fatullah Khan-- bukan wali terkenal di Jawa.

Nama mereka jarang ditemukan dalam historiografi tradisional, baik berupa serat maupun babad. Padahal, di Jawa terdapat puluhan naskah kuno berupa babad, hikayat, dan serat, yang mengisahkan para wali. Sebagian besar babad juga menggambarkan, Wali Songo hidup dalam kurun waktu yang bersamaan.

Para wali, menurut versi babad, dikisahkan sering mengadakan pertemuan di Masjid Demak dan Masjid ''Sang Cipta Rasa'' (Cirebon). Di sana mereka membicarakan berbagai persoalan keagamanan dan kenegaraan. Kisah semacam ini, antara lain, dapat dibaca di Babad Demak, Babad Cirebon, dan Babad Tanah Jawi.

Babad Cirebon, misalnya, mewartakan bahwa pada 1426, para wali berkumpul di Gunung Ciremai. Mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin Sunan Ampel, membentuk ''Dewan Wali Songo''. Sunan Gunung Jati ditunjuk selaku wali katib, atau imam para wali. Anggotanya terdiri dari Sunan Ampel, Syekh Maulana Magribi, Sunan Bonang, Sunan Ngudung alias Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Syekh Lemah Abang, Syekh Betong, dan Sunan Majagung.

Ditambah dengan Sunan Gunung Jati, jumlah wali itu malah menjadi 10 orang. Nama-nama Wali Songo yang tertulis di Babad Cirebon tersebut berbeda dengan yang tersurat di Babad Tanah Jawi. Dalam Babad Tanah Jawi, yang berasal dari Jawa Tengah, tidak ditemukan nama Syekh Betong dan Syekh Majagung. Sebagai gantinya, akan dijumpai nama Sunan Giri dan Sunan Drajat.

Tapi, peran Wali Songo jelaslah tak sebatas di bidang keagamaan. Mereka juga bertindak selaku anggota dewan penasihat bagi raja. Bahkan, Sunan Giri membentuk dinasti keagamaan, dan secara politis berkuasa di wilayah Gresik, Tuban, dan sekitarnya. Ia mengesahkan penobatan Joko Tingkir sebagai Raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah kekuasaan Raja Demak surut.

Di luar Wali Songo, ada puluhan tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang juga dianggap sebagai wali. Hanya, biasanya mereka berkuasa di kawasan tak seberapa luas. Sunan Tembayat, misalnya, dikenal sebagai pedakwah di Tembayat, sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Ia dilegendakan sebagai murid Sunan Kalijaga.

Sunan Tembayat adalah Adipati Semarang yang termasyhur dengan nama Ki Ageng Pandanarang. Berdasarkan cerita babad yang dikutip H.J. De Graaf dan T.H. Pigeuad, Pandanaran meninggalkan singgasananya lantaran gandrung akan ajaran Islam yang disampaikan Sunan Kalijaga. Pada 1512, Pandanarang menyerahkan tampuk pemerintahan kepada adik laki-lakinya.

''Ia bersama istrinya mengundurkan diri dari dunia ramai,'' tulis De Graaf dan Pigeaud dalam buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa. ''Pasangan bangsawan Jawa ini berkelana mencari ketenangan batin, sembari berdakwah,'' kedua pakar sejarah dari Universitas Leiden, Negeri Belanda, itu menambahkan.

Usai bertualang, Pandanarang dan istrinya bekerja pada seorang wanita pedagang beras di Wedi, Klaten. Akhirnya ia menetap di Tembayat sebagai guru mengaji. Di sana selama 25 tahun, Pandanarang hidup sebagai orang suci dengan sebutan Sunan Tembayat. Ia wafat pada 1537 dan dimakamkan di situ. Bangunan kompleks makam Sunan Tembayat terbuat dari batu berukir, menyerupai bentuk Candi Bentar di Jawa Timur dan pura di Bali.

Pada prasasti makam Sunan Tembayat tertulis, makam ini pertama kali dipugar pada 1566 oleh Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. ''Kemudian, pada 1633, Sultan Agung dari Mataram memperluas dan memperindah bangunan makam Tembayat,'' tulis De Graaf. Cerita tutur tentang kesaktian orang suci dari Semarang yang dimakamkan di Tembayat ini, menurut De Graaf, sudah beredar luas di kalangan masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-17.

Kisah ini ternukil di naskah klasik karya Panembahan Kajoran dari Yogyakarta, yang ditulis pada 1677. Naskah tersebut pertama kali diteliti oleh D.A. Rinkes pada 1909. Dan kini, bukti sejarah itu tersimpan di Museum Leiden, Negeri Belanda. ''Dengan begitu, legenda itu punya inti kebenaran,'' tulis De Graaf, yang dijuluki ''Bapak Sejarah Jawa''.

Selain Sunan Tembayat --menurut versi Babad Tanah Jawi-- Sunan Kalijaga juga punya murid lain, Sunan Geseng namanya. Nama asli petani penyadap nira ini adalah Ki Cokrojoyo. Alkisah, dalam pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara merdu Ki Crokro yang bernyanyi setelah menyadap nira.

Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada Allah. Ketika Ki Cokro berzikir, mendadak gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi emas. Petani ini heran bukan kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya, Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro berzikir tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.

Setahun kemudian, Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia memerintahkan murid-muridnya mencari Ki Cokro, yang berzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan menemukannya, karena tempat berzikir ki Cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan semak belukar. Syahdan, setelah murid-murid Sunan Kalijaga membakar padang ilalang, tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat.

Tubuhnya hangus, alias geseng, dimakan api. Tapi, penyadap nira ini masih bugar, mulutnya berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga membangunkannya dan memberinya nama Sunan Geseng. Ia menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik.

Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik --anyaman daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian.

Kia Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ''Ya-Qowiyyu'' pada setiap bulan Syafar.

Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai salat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan para santri sambil berzikir, Ya-Qowiyyu.... Ribuan orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem ''gotong royong'' itu.

Kisah Ki Ageng Gribik hanyalah satu dari sekian banyak mitos tentang para wali. Legenda keagamaan yang ditulis babad, menurut De Graaf, sedikit nilai kebenarannya. Hanya yang mengenai wali-wali terkemuka, katanya, ada kepastian sejarah yang cukup kuat. Makam mereka masih tetap merupakan tempat yang sangat dihormati. Pada kurun abad ke-16 hingga abad ke-17, keturunan para wali juga memegang peranan penting dalam sejarah politik Jawa.

SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.

Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung.

Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.

Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,'' kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.

Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.

Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ''putihan'', aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.

Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan Kalijaga cs-- ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.

Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.

Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.

Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.

Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.

Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.

Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.

Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.

Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.

Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.

Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ''referensi'' tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.

Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.

Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu --yang sedang mengandung tujuh bulan-- agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.

Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.

Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ''Maulana `Ainul Yaqin''. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.

Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.

Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur
Diposkan oleh majelistaklimbizikrillah di 18:14 0 komentar
SUNAN GUNUNG JATI
1. Asal - Usul

Sebelum era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya.

Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.

Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi yangsama .Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan agama Islam.

Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam demikian mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu.Tapi mimpi itu hanya terjadi tiga kali.

Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.

Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.

Orang yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut Caruban.Maka Legal Alang-alang disebut Caruban.

Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis yang terkenal.

Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama.

Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang istrinya.

Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah.

Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.

Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan dari daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran Cakrabuana yaitu Pakungwati.

Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan walau hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.

Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.

2. Perjuangan Sunan Gunung Jati

Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.

Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.

Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.

Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.

Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.

Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten.

Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai dua orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.

Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon.

Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan.

Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.

Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.

Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman.

Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat.

Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin

meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.

Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.

Raden Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah pemberontakan pemberontakan

dari daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid.

Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.

Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.

Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.

Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.

Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat.

Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama.Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.

Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.

`Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran

Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati.Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati.

Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.

Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.

Demikianlah riwayat perjuangan Sunan Gunungjati.
Diposkan oleh majelistaklimbizikrillah di 18:11 0 komentar
SUNAN KUDUS

MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.

Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.

Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.

Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.

Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.

Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.

Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.

Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.

Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.

Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.

Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.

Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud.

Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana.

Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.

Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak.

Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.

Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut.

Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.

Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.

Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.

Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.

Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.

Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole town."

Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.

Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.

Legenda Kota Kudus

Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.

Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.

Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.

Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing - masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.

*

Legenda daerah Jember

Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember

Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.

Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja memeluk agama Islam.
Diposkan oleh majelistaklimbizikrillah di 18:09 0 komentar
SUNAN KALIJAGA



HUTAN Jatiwangi, pada suatu masa. Di rindang lebat pepohonan jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu dua lelaki berbeda umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian serba hitam. Di depannya seorang pria lebih tua, dibalut busana serba putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya.

Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang gemar membegal pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika tongkat itu direbut, orang tua tadi sama sekali tak berlawan.

Ia tersungkur di tanah, kehilangan keseimbangan. Tongkat berkepala emas itu berpindah tangan. Bangkit dari jatuhnya, orang tua itu memberi nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat inilah yang mengubah jalan hidup Lokajaya. Ia menjadi murid orang tua itu --yang tiada lain daripada Sunan Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.

Begitulah legenda Sunan Kalijaga mengalir, dalam berbagai versi. Jalan hidup sunan yang satu ini tercantum dalam berbagai naskah kuno, babad, serat, hikayat, atau hanya cerita tutur turun-temurun. Mudah dipahami kalau muatannya berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan Kalijaga.

Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga adalah putra Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama aslinya Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut babad dan serat, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh Malaya, Raden Abdurrahman, dan Pangeran Tuban. Gelar ''Kalijaga'' sendiri punya banyak tafsir.

Ada yang menyatakan, asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai). Versi ini didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai. Ada juga yang menulis, kata itu berasal dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah.

Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia diperkirakan lahir pada 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20-an tahun. Sunan Ampel, yang diyakini lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga, berusia 50-an tahun.

Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram.

Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup selama sekitar 150-an tahun! Tapi, lepas dari berbagai versi itu, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah padam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain.

Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan --paduan melodi Arab dan Jawa.

Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir, meski ada yang menyebutnya karya Sunan Bonang. Lariknya punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar. Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai agama baru, diamsalkan penganten anyar, alias pengantin baru.

Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekaten.

Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah wayang kulit.

Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Cerita dari mulut ke mulut menyebut, Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki Dalang Sida Brangti.

Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga bersalin nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah carangan.

Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasan kenduri pun jadi sarana syiarnya.

Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-Quran. Di awal syiarnya, Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Prof. Husein Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah dibaiat sebagai murid Sunan Bonang.

Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di ''bumi Sriwijaya'' itu tidak meninggalkan catatan tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon, Sunan Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang. Konon, Kalijaga ingin menyusul Sunan Bonang, yang pergi ke Mekkah.

Tapi, oleh Syekh Maulana Magribi, Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa. Babad Cerbon menulis, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih masjid Keraton Kasepuhan.

Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati. Kisah pertemuannya rada-rada aneh. Sunan Gunung Jati sengaja menguji Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di padasan, tempat orang mengambil wudu. Kalijaga sendiri tak kaget mengingat ajaran Sunan Ampel, ''ojo gumunan lan kagetan'' (jangan mudah heran dan terkejut).

Ia ''menyulap'' emas menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh bakiak bagi orang yang berwudu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub. Ia pun ''menganugerahkan'' adiknya, Siti Zaenah, untuk diperistri Sunan Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon.

Dakwahnya berlanjut ke arah timur, lewat pesisir utara sampai ke Kadilangu, Demak. Di sinilah diyakini Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah, putri Maulana Ishak.

Pernikahan dengan Dewi Sarah itu membuahkan tiga anak, satu di antaranya Raden Umar Said, yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga itu amat keras ditentang Sunan Ampel, mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak iparnya.

Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan sebutan kelompok ''Islam abangan''. Julukan ini hingga kini melekat pada masyarakat di sepanjang pesisir utara, dari Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon. Selain dakwah dengan kontak budaya, kisah spektakuler lainnya adalah pendirian Masjid Agung Demak.

Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477, berdasarkan candrasengkala ''Lawang Trus Gunaning Janma'' --bermakna angka 1399 tahun Saka. Kisah pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Masih belum jelas, benarkah kesembilan wali berada di tempat ini dalam satu waktu.
Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
Diposkan oleh majelistaklimbizikrillah di 18:06 0 komentar
SUNAN DRAJAD





Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.

Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.

Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.

Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.

Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.

Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.

Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.

Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.

Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.

Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.

Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.

Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.

Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.

”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.

Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.

Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.

Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Diposkan oleh majelistaklimbizikrillah di 18:04 0 komentar
SUNAN BONANG

Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe

MENURUT tembang ini, ada lima macam ”penawar hati”, atau pengobat jiwa yang ‘’sakit”. Yakni membaca Al-Quran, mengerjakan salat tahajud, bersahabat dengan orang saleh, berzikir, dan hidup prihatin. Inilah pula yang sering dilantunkan Emha Ainun Nadjib bersama Kelompok Kyai Kanjeng, dalam sejumlah pergelarannya.

Di luar acara Emha, Tamba Ati hingga kini masih kerap dinyanyikan sejumlah santri di pesantren dan masjid di sejumlah desa. Tapi Cak Nun –demikian Emha biasa disapa– bukan pencipta ”lagu” itu. Tembang ini adalah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim, yang lebih dikenal sebagai Sunan Bonang.

Pada masa hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati untuk menarik warga masyarakat agar memeluk Islam. Pada saat berdendang, pria yang diduga berusia 60 tahun itu menabuh gamelan dari kuningan, yang dibuat oleh sejumlah warga Desa Bonang, Jawa Timur. Nama desa inilah yang kemudian melekat pada gelar sang Sunan.

Meski terampil, Sunan Bonang bukan putra penabuh gamelan. Ia justru putra Sunan Ampel, yang menikah dengan Condrowati, alias Nyai Ageng Manila. Nyai Ageng merupakan anak angkat Ario Tedjo, Bupati Tuban. Tidak ada catatan mengenai tanggal kelahiran Raden Makdum. Diduga, ia lahir di daerah Bonang, Tuban, pada 1465.

Sunan Ampel semula memberi ia nama Maulana Makdum. Nama ini diambil dari bahasa Hindi, yang bermakna cendekiawan Islam yang dihormati karena kedudukannya dalam agama. Semasa kecil, Sunan Bonang sudah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan disiplin yang ketat. Tak heran jika dia pun, kemudian, terhisab ke dalam Wali nan Sembilan.

Sunan Ampel kemudian mengirim Sunan Bonang ke Negeri Pasai, Aceh masa kini. Di sana Sunan Bonang menuntut ilmu pada Syekh Awwalul Islam, ayah kandung Raden Paku alias Sunan Giri. Bersama Raden Paku, ia juga belajar pada sejumlah ulama besar yang banyak menetap dan mengajar di Pasai, seperti ulama ahli tasawuf dari Baghdad, Mesir, dan Iran.

Pulang dari menuntut ilmu, Sunan Bonang diminta Sunan Ampel berdakwah di Tuban, Pati, Pulau Madura, dan Pulau Bawean di utara Pulau Jawa. Seperti halnya Raden Paku alias Sunan Giri, yang mendirikan pesantren di Gresik, Sunan Bonang juga mendirikan pesantren di Tuban.

Dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap menggunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati masyarakat, antara lain dengan seperangkat gamelan Bonang. Bila dipukul dengan kayu lunak, bonang itu melantunkan bunyi yang merdu. Bila Sunan Bonang sendiri yang menabuhnya, gaung sang bonang sangat menyentuh hati para pendengarnya.

Masyarakat yang mendengarnya berbondong-bondong datang ke masjid. Sunan Bonang lalu menerjemahkan makna tembangnya. Karena kekuatan suaranya itu pula, Sunan Bonang juga mendapat julukan lain: Sang Mahamuni. Tembang itu berisi ajaran Islam, sehingga tanpa sengaja mereka telah diberi penghayatan baru.

Pada masa itu, daerah Bonang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang mayoritas –dan ”resmi”– beragama Hindu. Kebetulan, para penganut Hindu ketika itu sangat akrab dengan musik gamelan. Pengaruh gendingnya cukup melegenda. Bahkan gamelan itu telah menjadi bagian dari cerita kesaktian Sunan Bonang.

Misalnya dikisahkan, ia pernah menaklukkan Kebondanu, seorang pemimpin perampok, dan anak buahnya, hanya menggunakan tembang dan gending Dharma dan Mocopat. Begitu gending ditabuh, Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu menggerakkan tubuhnya. ”Ampun… hentikan bunyi gamelan itu. Kami tak kuat,” begitu konon kata Kebondanu.

Setelah diminta bertobat, Kebondanu dan gerombolannya pun menjadi pengikut Sunan Bonang. Tapi, kesaktian Sunan Bonang tak hanya terletak pada gamelan dan gaungnya. Cerita lain mengisahkan seorang brahmana, yang berlayar dari India ke Tuban. Tujuannya: ingin mengadu kesaktian dengan Sunan Bonang.

Namun, sebelum mendarat di Tuban, kapalnya dihajar ombak. Akibatnya, kitab-kitab kesaktiannya hanyut terbawa air. Beruntung, sang brahmana berhasil mencapai pantai. Di tepian laut itu ia berjumpa dengan seorang pria berjubah putih. Kepada pria itu ia menyatakan ingin berjumpa dengan Sunan Bonang untuk uji kesaktian.

Tapi, demikian katanya, ia tak lagi mampu melakukannya, karena semua kitabnya sudah raib di telan ombak. Pria berjubah itu mencabut tongkatnya yang tertancap di pasir pantai. Air muncrat dari lobang bekas tongkat itu… bersama semua kitab sang brahmana. Setelah pria tadi menyebut namanya, yang tiada lain daripada Sunan Bonang, Brahmana itu berlutut.

Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak.

Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ”pengadilan” yang dipimpinnya.

Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi ”pengadilan” itu sendiri punya dua versi. Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah.

Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih.

Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.

Untuk menghindari ketiga ”musuh” itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih lengkap.

Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.

Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ”mencuri” jenazah sang Sunan.

Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.


Diposkan oleh majelistaklimbizikrillah di 18:01 0 komentar
SUNAN GIRI
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.

Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung.

Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.

Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,'' kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.

Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.

Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ''putihan'', aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.

Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan Kalijaga cs-- ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.

Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.

Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.

Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.

Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.

Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.

Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.

Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.

Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.

Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.

Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ''referensi'' tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.

Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.

Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu --yang sedang mengandung tujuh bulan-- agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.

Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.

Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ''Maulana `Ainul Yaqin''. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.

Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.

Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.


Diposkan oleh majelistaklimbizikrillah di 18:00 0 komentar
SUNAN AMPEL

PRABU Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ''kesibukan'' harian kaum bangsawan --pun rakyat kebanyakan.

Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ''Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,'' kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ''Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,'' Darawati menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa --kini wilayah Kamboja.

Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari.

Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23.

Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Soalnya, para sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada 1443.

Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 --tahun kejatuhan Campa ke tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan sahabatnya (Abu Hurairah).

Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit.

Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.

Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah.

Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel.

Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang --dan diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.

Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ''salat'' diganti dengan ''sembahyang'' (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ''langgar'', mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri --orang yang tahu buku suci agama Hindu.

Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas. Dari sinilah sebutan ''Sunan Ampel'' mulai populer.

Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ''Moh Limo''. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).

Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.

Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus.

''Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?'' kata Sunan Ampel. ''Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.'' Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak.

Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.

Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang berbeda.

Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ''Ngulama Ampel Seda Masjid''. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid. Serat Kanda edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan santrinya.

Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.

Jumlahnya bertambah pada acara ritual tertentu, seperti saat Haul Agung Sunan Ampel, Pengunjungnya membludak sampai 10.000 orang. Kalau makam Maulana Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan Ramadhan, makam Sunan Ampel justru makin ramai 24 jam pada bulan puasa.
Diposkan oleh majelistaklimbizikrillah di