Selasa, 12 Mei 2009

Tokoh Pendidikan Pater J Drost Meninggal Dunia Y04/Y01/Y03/MAS

Tokoh Pendidikan Pater J Drost Meninggal Dunia
Y04/Y01/Y03/MAS

Indonesia kembali kehilangan tokoh pendidikan yang lantang melakukan autokritik. Pater J Drost SJ, lengkapnya Drs Josephus Ignatius Gerardus Maria Drost SJ, Sabtu (19/2) sekitar pukul 16.15, meninggal dunia di Rumah Sakit Elisabeth Semarang, Jawa Tengah, dalam usia 80 tahun setelah mengalami gangguan prostat.
Meninggalnya Pater Drost merupakan kehilangan yang amat sangat bagi dunia pendidikan di Indonesia. Dialah sosok pendidik yang sejak muda hingga menjelang akhir hayatnya selalu peduli terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
"Pater meninggal karena sakit prostat, sebelumnya pernah menderita sakit jantung," kata Kepala SMA Kanisius Jakarta Romo Baskoro Poedjinoegroho SJ. Romo Baskoro belum tahu apakah Pater Drost meninggal akibat kanker prostat atau yang lainnya, yang ia ketahui Pater Drost menjalani operasi prostat.
Menurut Romo Baskoro, Pater Drost merupakan seorang pendidik yang ulung. Semasa hidupnya, Pater Drost banyak memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia pendidikan. Ia juga sungguh-sungguh bisa mengikuti perkembangan pemikiran dari para pemikir muda.
Romo Baskoro mencontohkan, ketika dia tampil menjadi pembicara bersama dalam sebuah seminar di luar Pulau Jawa beberapa tahun lalu, misalnya, Romo Baskoro sebelumnya khawatir kalau akan ada pertentangan pemikiran dua pastor dalam sebuah seminar tersebut. Ternyata, apa yang dikhawatirkan itu tidak terbukti.
Pater Drost ternyata memiliki sudut pandang lain dalam mengungkapkan gagasannya itu sehingga sama sekali tidak ada pertentangan. Ia bisa menampilkan pandangan lain dari sudut pandang yang lain pula yang tidak menimbulkan benturan pandangan dengan pendapat orang muda.
Sempat bercanda
Socius Provinsial Jesuit Indonesia Azis Mardopo SJ di Kamar Jenazah RS Elisabeth, mengatakan, sekitar pukul 14.00 siang Pater J Drost diantar sopir untuk check up di RS Elisabeth. Di jalan, Pater tidak menunjukkan tanda sakit, malah mengajak sopir bercanda.
Menurut Sr Monika, perawat di Wisma Emaus Pasturan Girisonta, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah -tempat Pater Drost tinggal selama ini-setelah check up Pater Drost dinyatakan sehat. Namun, ia minta dirawat di RS. Pater Drost kemudian masuk ruang Joseph dan mendapat perawatan dari dokter RS. Tak lama kemudian Pater Drost meninggal dunia.
Jenazahnya akan dimakamkan pada hari Senin (21/2) di Makam Jesuit Girisonta pukul 11.00, setelah Misa Requim di Kapel Girisonta pukul 10.00.
Sementara itu Provinsial Jesuit Indonesia Priyono Marwan SJ, mengatakan, Pater Drost adalah pribadi yang sangat mencintai pelayanannya. Pater dengan senang hati menerima tugas sebagai kepala sekolah setelah sebelumnya menjadi Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)-kini menjadi universitas-Sanata Dharma, Yogyakarta. "Ini sulit dilakukan oleh kebanyakan orang Indonesia, yang dengan senang hati turun jabatan," katanya.
Romo Ignatius Aria Dewanto, Novis Yesuit Girisonta yang ditemui di ruang jenazah, mengatakan, selama di Wisma Emaus Girisonta Pater Drost menerjemahkan buku asing. Buku itu diterbitkan untuk kalangan Serikat Jesus.
Pater Drost lahir di Jakarta pada 1 Agustus 1925. Ia pernah mendalami filsafat di Yogyakarta pada tahun 1952, dan pada tahun 1957 lulus sebagai sarjana fisika di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pendidikannya dilanjutkan di Teologia Yogyakarta, lulus tahun 1961. Ia pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 1962-1964. Ia menjabat Rektor IKIP Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 1964-1967.
Pada tahun 1976-1987, Pater Drost menjabat Kepala SMA Kanisius Jakarta. Kemudian pada tahun 1987-1991, ia menjabat Kepala SMA Gonzaga Jakarta dan sekaligus Rektor Kolese Gonzaga pada tahun 1987.
Sumber : Kompas (20 Februari 2005)
Prof Dr A Sartono Kartodirdjo
Mahaguru Sejarah Indonesia

Prof Dr A Sartono Kartodirdjo,

Guru Besar Ilmu Sejarah Un
iversitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, meninggal dunia di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Jumat 7 Desember 2007 pukul 00.45 WIB. Penulis buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru, kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 15 Februari 1921, itu memperkenalkan pendekatan multidimensi dalam penulisan sejarah.
Dia pionir generasi baru sejarawan Indonesia yang menerapkan metode penelitian modern dalam lingkup studi sejarah. Sejak setahun terakhir sudah telah dua kali dirawat di rumah sakit. Menurut putranya, Nimpuno, Sartono masuk RS Panti Rapih, Kamis (6/12/2007) malam, karena kondisi kesehatannya memburuk. Sebelumnya dia dirawat di rumah. Dia memang sudah lama sakit dan sudah sulit makan sendiri. Jenazah disemayamkan di rumah duka kompleks rumah dinas dosen UGM Bulak Sumur, Yogyakarta. Upacara penghormatan terakhir dilakukan di Balairung UGM. Dimakamkan di makam keluarga Astana Kadarismanan, Lemah Abang, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (8/11/2007) siang. Alamarhum Sartono meninggalkan seorang isteri, Sri Kadarjati, sama-sama berprofesi guru, yang dinikahinya pada 1948, dan dikaruniai dua anak. Sartono dilahirkan sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara kandung buah hati pasangan Tjitrosarojo (ayah) dan Sutiya (ibu) pada tengah malam di Wonogiri, 15 Februari 1921. Dia dibesarkan dalam ruang sosial budaya abangan, sebagai lingkungan paling awal pembentukan jati dirinya. Kemudian melalui dunia pendidikan formalnya di HIS, MULO, dan HIK, dia menyerap nilai budaya Barat. Terutama di HIK Muntilan, selain menyerap budaya Barat, Sartono juga menyerap nilai-nilai dan ajaran Kristiani secara lebih intensif. Sebab di HIK, dia mendapat pendidikan khusus sebagai (calon) bruder. Kendati dia tidak jadi bruder, karena akhirnya memilih karier sebagai guru, nilai-nilai yang diajarkan selama di HIK tetap menjadi pemandu dalam perjalanan hidupnya.
Sebelum menjadi dosen di UGM, Sartono mengajar di SMA di Jakarta, sambil kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), dan menyelesaikannya tahun 1956. Kemudian tahun 1959, Sartono menjadi dosen di UGM, dan di FKIP Bandung. Kemudian dia meraih gelar master dari Universitas Yale, AS (1964). Gelar doktor diraih dari Universitas Amsterdam, Belanda (1966) dengan disertasi: "The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia" (Pemberontakan Petani Banten 1888). Disertasi ini dinilai sebagai batu loncatan dalam studi sejarah Indonesia. Sebuah karya sarjana sejarah Indonesia pertama yang mengangkat peran wong cilik ke atas panggung sejarah, yang sebelumnya selalu diisi kaum elite, konvensional dan Neerlandosentris.

Penulisan disertasi ini, diakuinya didorong oleh hasrat melancarkan protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Neerlandosentris. Menurut M Nursam Alumnus Ilmu Sejarah UGM, yang tengah menulis Buku Biografi Sartono Kartodirdjo (masih dalam Proses Penerbitan), Sartono dengan menggunakan social scientific approach, memberikan cahaya terang dalam perkembangan dan arah historiografi Indonesiasentris. "Petani atau orang-orang kecil yang dalam sejarah konvensional menjadi nonfaktor, dalam karya Sartono menjadi aktor sejarah," tutur M Nursam.

Kemudian dia dikenal sebagai seorang sejarawan yang berperan bagi pengembangan ilmu sejarah di Indonesia dengan memperkenalkan pendekatan multidimensi dalam penulisan sejarah.

Tahun 1968, dia dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Sastra UGM.Dia seorang mahaguru sejarah Indonesia yang telah menghasilkan banyak ahli sejarah yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara. Murid-muridnya itu pula yang menjadi benang penyambung ide dan gagasan Sartono. Menurutnya, sejarawan harus tetap berpegang pada etos yang disebut mesu budi. Istilah itu dia sadur dari Serat Wedatama, yang bermakna mengandalkan kekuatan batin dan tidak bertumpu pada kemegahan dunia.

Puluhan buku dan ratusan artikel telah lahir dari tangannya. Pada tahun 2001, pada usia ke-80, Sartono masih menerbitkan buku berjudul Indonesian Historiography. Baginya, usia bukan alasan untuk berhenti berkarya. Menurutnya, kerja seorang ilmuwan adalah kerja tanda henti.

Dalam berbagai kesempatan, Sartono sering kali mengingatkan bahwa ilmuwan "jangan seperti pohon pisang, yang hanya berbuah sekali kemudian mati." Dia juga sering mengingatkan bahwa sikap asketis menjadi esensi dari keahlian seorang profesional. Menurutnya, apa yang dihasilkan adalah buah dari asketisme yang dihayatinya secara terus-menerus melalui ketekunan, ketelitian, ketuntasan serta kesempurnaan teknis.

Prof Dr Sartono Kartodirdjo ikut berperan dalam penulisan buku sejarah pada 1987 dan 1990 itu. Tapi dalam nama tim penulis nama Sartono hanya muncul hingga jilid II. Pada jilid III sampai VI namanya tiba-tiba hilang.

Lalu Sartono melepas kekecaawannya dengan menulis sendiri buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru (Jilid I berisi Zaman Kerajaan, dan Jilid II berisi Pergerakan Sejarah Nasional).

Sebelumnya Sartono sudah menulis The Peasants Revolt of Banten in 1888 (1966); Protest Movements in Rural Java, diterbitkan Oxford University Press (1973); Ratu Adil (1984); dan Modern Indonesia, Tradition and Transformation (1984).

Kepakarannya di bidang sejarah tidak hanya diakui di dalam negeri tetapi juga di mancanegara. Dia pernah berperan sebagai Koordinator Nasional UNESCO, dan ahli peneliti pada Institute of South East Asian Studies, Singapura. Berbagai penghargaan dari lembaga internasional dan universitas mancanegara telah dianugerahkan padanya.

Sebagaimana dikutip M Nursam, salah seorang kolega Sartono, Joseph Fischer, dari University of California, mengatakan, "Bagi saya, Pak Sartono merupakan kombinasi dari tokoh Arjuna, Gatotkaca, dan Semar. Arjuna karena kehalusan sikapnya. Gatotkaca karena kejujurannya, dan Semar karena kearifannya. Pak Sartono benar-benar seorang cendekiawan profesional dan seorang guru yang baik." ►ti-hotsan, dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar